Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah melihat depresiasi tajam rupiah, seiring sentimen atas normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat, sebagai efek pembalikan arus portofolio setelah mengalir deras ke Tanah Air sejak awal tahun.
Menteri Keuangan M. Chatib Basri mengatakan risiko pembalikan modal menjadi tinggi karena capital inflow yang tinggi sejak kondisi makroekonomi Indonesia dinilai membaik dan proses suksesi politik berjalan relatif tenang.
Bank Indonesia mencatat hingga Agustus aliran masuk portofolio asing ke pasar keuangan Indonesia mencapai US$14,4 miliar. Periode sama tahun lalu, pasar keuangan diwarnai capital outflow setelah the Fed mengumumkan rencana pengurangan program pembelian aset (tapering off).
"Kalau inflow masuk banyak, maka risiko keluarnya juga banyak," kata Chatib melalui sambungan telepon dari Hong Kong, Kamis (18/9/2014).
Rupiah di pasar spot hari ini ditutup di posisi Rp12.030 per dolar AS, terkoreksi 1,02%, menurut the Jakarta Interbank Spot Rate (Jisdor), setelah dua hari sebelumnya bertengger di kisaran Rp11.900 per dolar AS.
Menurut Bloomberg Dollar Index, rupiah melemah 0,11% ke level Rp11.982, setelah sempat diperdagangkan di kisaran Rp11.980-Rp12.050 per dolar AS.
Chatib tidak menampik risiko ini masih akan membayangi rupiah beberapa waktu ke depan. Itu pula yang melatarbelakangi pemerintah mengajukan asumsi nilai tukar Rp11.900 per dolar AS dalam RAPBN 2015.
Namun, menurutnya, risiko itu bisa ditekan dengan merancang defisit fiskal yang sempit, salah satunya dengan mengurangi subsidi BBM. Dengan menekan defisit anggaran, maka kebutuhan pembiayaan menjadi kecil sehingga ketergantungan terhadap dana asing berkurang.
Selain itu, pendalaman pasar keuangan domestik, khususnya pasar obligasi, harus dilakukan. Pemerintah, kata Chatib, tengah mengupayakan kerja sama agar dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bisa menjadi salah satu sumber pembiayaan 2015.
Tahun depan, pemerintah mengalokasikan anggaran BPJS kesehatan Rp19,9 triliun untuk penerima bantuan iuran (PBI) tahun depan.
"Tapi, saya tidak tahu pemerintahan baru mau melakukan atau melanjutkan. Paling tidak, saya sudah lihat gejalanya seperti itu (normalisasi kebijakan the Fed berisiko terhadap rupiah)," katanya.