Bisnis.com, JAKARTA--Perjanjian investasi bilateral tak menunjukkan dampak positif secara signifikan terhadap kinerja industri nasional. CAFTA contohnya, seiring berjalannya kemitraan Asean dengan Negeri Tirai Bambu defisit neraca pedagangan RI-China masih terjadi.
Kepala Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim, dan Mutu Industri (BPKIMI) Arryanto Sagala menilai China-Asean Free Trade Area (CAFTA) berlaku pada 2010 sampai sekarang industri nasional belum bangkit menghadapi tekanan dari China.
"Kita semakin terpuruk karena China bisa memproduksi harga lebih murah karena skala produksinya besar," ucapnya saat ditemui Bisnis di kantornya, Jakarta, Selasa (14/10/2014).
Defisit perdagangan RI-China pada 2010 mencapai US$10,66 miliar lalu meningkat menjadi US$13,46 miliar setahun setelah itu. Pada 2012 defisit menyentuh US$17,15 miliar atau yang tertinggi dalam 4 tahun terakhir.
Selama tahun lalu minus tersebut menyusut ke level US$7,24 miliar. Sementara selama empat bulan pertama tahun ini perdagangan dengan China defisit sekitar US$3,56 miliar. Impor dari negara itu mayoritas berupa bahan baku serta barang konsumsi.
Arryanto menyatakan sulit untuk menuntut negosiasi maupun evaluasi skema dagang dalam CAFTA. Pasalnya Indonesia tidak mendapat dukungan dari negara Asean lain yang termasuk dalam perjanjian dagang ini.
Aktivitas impor berdasarkan board economic catagories (BEC) menunjukkan pembelian dari luar negeri terbanyak berupa bahan baku dan penolong sebesar 66,70% dari 9.023 barang selama Januari - April 2014.
"Dengan bea masuk nol persen kita harus bersaing face to face dengan China, sedangkan biaya produksi mereka lebih murah dari kita," ucap Arryanto.
Selama Januari hingga bulan keempat tahun ini impor bahan baku dan penolong mencapai US$69,47 miliar. Pembelian bahan baku dari luar negeri terbanyak berasal dari China sebesar 17,53%.