Bisnis.com, JAKARTA—Presiden Joko Widodo diminta memimpin langsung upaya peningkatan kesejahteraan petani, sekaligus mengubah strategi makro ke arah pro petani guna mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia.
Staf Ahli Bidang Ekonomi Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Didin S Damanhuri mengatakan strategi yang dijalankan pemerintah selama 10 tahun terakhir lebih berorientasikan kepada stabilisasi makro ketimbang kesejahteraan rakyat, seperti petani.
“Bahwa ada program untuk rakyat itu iya. Tapi kan terlalu sedikit, sangat tidak cukup. Akibatnya, gini ratio kian lebar. Bahkan, pertumbuhan orang kaya di Indonesia mencapai 27%, lebih besar ketimbang India 16% ataupun Tiongkok 16%,” ujarnya, Rabu (29/10).
Didin menilai strategi pemenuhan kebutuhan pokok untuk mencapai stabilitas harga, stablitas ekonomi dan stabilitas politik dalam mencapai pertumbuhan yang tinggi melalui industrialisasi manufaktur harus diubah.
Pasalnya, strategi tersebut membuat rakyat kecil termarjinalkan. Hal itu terlihat dari meningkatnya gini ratio selama satu dekade terakhir ini. Bahkan, pertumbuhan orang kaya di Indonesia mencapai 27%, lebih tinggi dibandingkan dengan India 16% ataupun Tiongkok 17%.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rasio gini saat ini tercatat naik menjadi 0,41 dari nilai terendah sebelumnya 0,32 pada 2004 yang lalu. Penurunan tersebut juga diikuti indikator kesejahteraan petani, yakni nilai tukar petani (NTP).
Dari data BPS, NTP sektor tanaman masih berada di bawah level 100. NTP pangan per Agustus berada di posisi 97,78. Ini merupakan level NTP petani pangan terendah dalam empat tahun terakhir, persisnya sejak Agustus 2010.
Oleh karena itu, dia berharap Presiden Joko Widodo dapat membuat terobosan pro petani, sekaligus dapat memimpin langsung upaya tersebut. Didin optimistis kedaulatan pangan di Indonesia bisa terjadi apabila pemerintah fokus terhadap peningkatan kesejahteraan petani.
Senada, Kepala Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian Kementerian Pertanian Erizal Jamal mengakui strategi kegiatan produksi lebih gencar dilakukan—sejak pemerintahan Presiden Soeharto hingga Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II—ketimbang peningkatan kesejahteraan petani.
“Jadi memang harus segera digeser. Apalagi, kedaulatan pangan itu mengamanatkan petani sebagai subjek dan pelaku utama pembangunan pertanian. Hanya saja, hal ini susah dilakukan jika hanya oleh Kementerian Pertanian saja,” katanya.
Erizal mengklaim hanya 20% dari program kedaulatan pangan yang bisa dikerjakan oleh instansinya, sedangkan sisanya tersebar di kementerian lainnya, seperti Kementerian Pekerjaan Umum, Badan Pertanahan Nasional dan kementerian/lembaga terkait lainnya.
Oleh karena itu, upaya mewujudkan kedaulatan pangan tersebut harus dibawah komando presiden secara langsung. Selain itu, program kedaulatan pangan juga harus menjadi agenda semua lapisan, baik dari pemerintah pusat maupun daerah.
Di tempat yang sama, Penasehat Ahli Bidang Ekonomi Pertanian dari Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik (LPIKP) Azwar Maas menilai menurunnya nilai tukar petani disebabkan daya tawar posisi petani yang lemah.
Oleh karena itu, lanjutnya, usaha tani harus berorientasi ke pasar, dengan cara mengarahkan usaha budidaya ke konsep badan usaha tani bersama atau corporate farming. Konsep ini bertujuan untuk membina kelompok petani untuk lebih profesional, sekaligus meningkatkan profit.
Dengan konsep usaha tani bersama, serta dukungan dari infrastruktur dan regulasi, Azwar yakin NTP dapat menjadi lebih baik, sehingga lebih menjamin keuntungan yang tinggi dan margin usaha yang lebih berkeadilan.