Bisnis.com, JAKARTA--Hingga akhir Oktober 2014, realisasi penerimaan negara dari sektor perpajakan, khususnya dari bea, keluar baru mencapai Rp10,7 triliun atau 62,2% dari target proporsional sampai dengan 31 Oktober 2014 yang sebesar Rp17,2 triliun.
Menurut Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Susiwijono, salah satu penyebab belum tercapainya target realisasi bea keluar ini antara lain adalah tarif bea keluar minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) pada Oktober, November serta prediksi pada Desember yang sebesar 0%.
Selain itu, pemberlakuan kebijakan hilirisasi yang mengakibatkan terjadinya pergeseran jenis komoditas ekspor juga menyebabkan berkurangnya realisasi penerimaan bea keluar.
Susiwiyonio mencontohkan dengan adanya kebijakan tersebut, terjadi pergeseran komoditas ekspor dari CPO, menjadi produk turunan CPO yang tarif bea keluarnya lebih rendah.
Ia menambahkan kebijakan pelarangan ekspor bijih mineral mentah juga mengakibatkan menurunnya penerimaan bea keluar secara signifikan.
Di sisi lain, tidak tercapainya kuota ekspor PT Freeport Indonesia serta PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) juga turut mempengaruhi pencapaian realisasi bea keluar.
Sebagai informasi, kuota ekspor konsentrat tembaga PT Freeport Indonesia adalah 940.989 metrik ton, tetapi hanya terealisasi 681.575 MT, dengan bea keluar setara dengan Rp1,24 triliun.
Sementara itu, kuota ekspor PT NNT adalah sebesar 304.515 MT.
“Namun perkiraan ekspor 2014 hanya sebesar 152.257 metrik ton dengan bea keluar setara dengan Rp264 miliar,” ungkapnya seperti dilansir situs resmi Kemenkeu, Sabtu (15/11/2014)
Untuk merespons hal tersebut, DJBC akan melakukan berbagai upaya optimalisasi penerimaan bea keluar ini, antara lain dengan meningkatkan akurasi penelitian jumlah/jenis barang dan penelitian laboratorium barang ekspor yang terkena bea keluar.