Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah perlu melakukan audit terhadap bangunan yang sudah berdiri untuk memastikan proses pembangunan yang telah terjadi, mengingat pengaturan pengembangan gedung masih sangat minim.
Pemerhati masalah perkotaan Nirwono Joga memperkirakan baru separuh dari bangunan gedung yang ada yang memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Bangunan yang dimaksud meliputi berbagai ukuran, mulai dari ukuran kecil seperti rumah, ruko, hingga gedung bertingkat.
“Partisipasi masyarakat untuk mengajukan proses izin pembangunan masih minim, mungkin baru sekitar 20%. Pelanggaran dalam proses pembangunan terjadi di berbagai level. Kalau untuk gedung tinggi, biasanya pembangunan tidak sesuai dengan izin yang diperoleh,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (30/12/2014).
Kondisi seperti ini, menurutnya, terjadi di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Masalah birokrasi perizinan yang berbelit-belit dengan biaya tinggi, turut memicu rendahnya kesadaran masya rakat untuk mengurus IMB.
Padahal, terdapat banyak dampak negatif yang timbul akibat pembangunan tanpa kontrol tersebut. Bangunan akhirnya berdiri di atas lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, yang kemudian membuat ruang terbuka hijau menjadi semakin berkurang.
Untuk jangka pendek, bencana alam seperti banjir menjadi dampak langsung yang dirasakan setiap tahunnya. Selain itu, akibat area resapan air berkurang, membentuk rongga di dalam tanah yang pada akhirnya mengakibatkan penurunan permukaan tanah.
“Bagi bangunan tinggi, kondisi ini akan berbahaya. Untuk daerah dekat pantai, rongga tanah akan dimasuki air laut. Air asin itu akan mempercepat terjadinya pengaratan bangunan. Kalau bangunan dikembangkan untuk usia 50 tahun, daya tahan bisa berkurang separuhnya.”
Menurutnya, bentuk pengawasan tidak bisa hanya mengandalkan keberadaan Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan. Seluruh pejabat mulai dari level paling bawah harus terlibat dalam pengawasan pembangunan di daerah masing-masing.
Nirwono menuturkan, pendataan menjadi penting sebagai dasar dari pengambil an keputusan. Selama ini, paparnya, belum pernah dilakukan audit bangunan gedung, padahal permintaan ini sudah sering diusulkan.
“Untuk bangunan baru dengan usia 5 tahun ke bawah, mungkin datanya sudah cukup lengkap. Tapi, bagaimana dengan bangunan lama yang usianya sudah lebih dari 10 tahun. Ini belum terdata.”
BELUM DIDATA
Pada kesempatan lain, Kepala Subdit Perencanaan Teknis Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Dian Irawati mengakui belum mempunyai data memadai terkait keberadaan bangunan gedung. Dalam 5 tahun ke depan, pihaknya menargetkan dapat melakukan pendataaan pada 50% bangunan gedung milik pemerintah.
Terkait dengan kebijakan, dia mengatakan jumlah pemerintah daerah yang telah mempunyai perda tentang bangunan gedung masih terbatas. Pihaknya mencatat saat ini baru terdapat 49% daerah yang telah memiliki perda.
“Dari 507 kabupaten/kota, baru 249 kabupaten/kota yang telah memiliki perda bangunan gedung. Masih terdapat 16 daerah lainnya yang sudah ditetapkan dan menunggu penomoran. Lalu, terdapat 29 daerah yang memiliki prospek,” paparnya.
Kemudian, Dian melanjutkan jumlah daerah yang memiliki aturan mengenai setifikat layak fungsi (SLF) baru tiga yakni DKI Jakarta, Kota Bandung, dan Kabupaten Kuantan Singingi (Riau).
Pemerintah, berupaya untuk terus melakukan pembinaan dalam upaya pembentukan berbagai kebijakan penyusunan terkait dengan bangunan gedung. Kendati begitu, jumlah anggaran yang ada masih sangat terbatas.
Sebagai gambaran, Dian menyebutkan anggaran yang dibutuhkan untuk program penataan bangunan dan lingkungan pada 2015 di perkirakan Rp11,6 triliun. Sementara itu, jumlah anggaran yang telah ditetapkan sebesar Rp2,3 triliun.
Walaupun begitu, dia meyakini dalam 5 tahun ke depan seluruh daerah telah memiliki perda bangunan gedung dan 30% pemda telah memiliki aturan tentang SLF.