Bisnis.com, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihatno mengatakan basis data yang digunakan dalam laporan Indonesia's legal Timber Supply Gap and Implications for Expansion of Milling Capacity tidak bisa disamakan dengan yang terjadi saat ini.
Pasalnya, laporan tersebut memuat kesenjangan antara konsumsi kayu oleh pabrik dan pasokan produksi kayu sejak 23 tahun lalu, sehingga banyak hal yang berubah termasuk permintaan konsumen akan pengelolaan hutan secara lestari pada produk hasil kehutanan.
Dia mengatakan pada masa itu penebangan hutan alam masih massif karena belum ada standard dan patokan kualitas yang diinginkan konsumen untuk membeli produk yang berdasarkan pengelolaan hutan lestari.
“Saat ini, kami menghadapi tekanan konsumer untuk membuktikan produk yang kita jual tidak illegal. Kalau ada bukti illegal, kita tidak bisa jual,” katanya kepada Bisnis, Selasa (17/2/2015).
Pasokan kayu untuk keperluan industri yang berasal dari penebangan hutan alam atau kayu ilegal terindikasi melebihi 25% selama 23 tahun terakhir berdasarkan laporan Indonesia's legal Timber Supply Gap and Implications for Expansion of Milling Capacity.
Selama 1991-2014, kalkulasi kesenjangan antara konsumsi kayu yang diterima industri dengan pasokan kayu legal yang dihasilkan dari hak pengusahaan hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) mencapai 219 juta m3.
Rinciannya, konsumsi kayu kebutuhan industri mencapai 866 juta m3, namun pasokan kayu yang dihasilkan dari konsesi berizin hanya 647 juta m3 selama 23 tahun terakhir.
Purwadi mempertanyakan keabsahan data kesenjangan produksi kayu untuk keperluan industri dan konsumsi industri untuk tahun lalu sebesar 20 juta m3 yang disajikan dalam laporan itu.
Setiap tahunnya, kebutuhan bahan baku industri pulp dan paper mencapai 25 juta m3. Sementara itu, produksi tebangan kayu dari HTI mencapai 35 juta m3 pada tahun lalu.
Berdasarkan perhitungan itu, industri pulp and paper seharusnya tidak kekurangan bahan baku mengingat industri tersebut menjadi penerima hampir 80% kayu yang berasal dari HTI.
“Surplus 10 juta m3 itu untuk industri lainnya, seperti pertukangan, chip, mebel. Jadi dari sisi pasokan itu sudah cukup memenuhi dari HTI,” katanya.
Menurut Purwadi, memang ada sumbangan kayu dari land clearing atau perubahan kawasan dari hutan ke perkebunan yang besaran per tahunnya mencapai 7,9 juta m3. Namun, pasokan dari HTI sendiri terbukti sudah memenuhi bahan baku industri bubur kertas.
Selain itu, dia mengatakan mandatory sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) mengharuskan perusahaan hutan menerapkan asas pengelolaan lestari mulai dari hulu hingga manajerial, sehingga kemungkinan penebangan illegal kecil dilakukan.