Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Perusahaan Konstruksi Nasional Indonesia (Gapeksindo) meminta pemerintah merevisi regulasi perpajakan yang menimbulkan biaya tinggi pada industri jasa konstruksi nasional. Salah satunya, aturan PPN berganda pada subjek pajak berupa proyek konstruksi yang dikerjakan dengan subkontrak.
Ketua Umum DPP Gapeksindo Irwan Kartiwan mengatakan saat ini pajak pertambahan nilai (PPN) dikenakan kepada proyek infrastruktur yang digarap dengan subkontrak. Tarif PPN yang dikenakan sebesar 10% dan 3%.
"Itu sebabnya konsep bapak asuh, yang besar memberdayakan yang kecil, itu tidak bisa jalan. PPN ganda justru melahirkan high cost," ujarnya di kantor Wapres, Senin (23/2/2015).
Dengan ketentuan PPN tersebut, lanjutnya, perusahaan kontraktor raksasa memilih untuk menggarap sendiri proyek infrastruktur yang dimenangkan. Pasalnya, apabila diserahkan kepada anak usaha, PPN-nya bisa membengkak menjadi 20%, 30%, bahkan 40%.
"Satu subjek cukup di induk tidak dikenakan lagi di bawahnya. Kalau subkon kena 13%, mana mungkin bisa feasible. Itu yang akan kita tindak lanjuti di tahun ini," imbuhnya.
Selain itu, Gapeksindo menilai insentif pembebasan bahan bangunan yang digulirkan Real Estate Indonesia (REI) masuk akal untuk menggenjot pembangunan rumah sederhana. Namun usulan tersebut dinilai Irwan tidak masuk akal diterima pengembang rumah menengah dan komersial.
Gapeksindo juga menilai wajar apabila pemerintah melakukan penunjukkan langsung pada proyek-proyek infrastruktur bernilai sampai dengan Rp500 juta. Langkah tersebut dinilai dapat memberdayakan perusahaan konstruksi skala kecil.
"Kalau menurut saya, layak pengusaha kecil dapat penunjukkan langsung, karena pengusaha kecil memang harus dilindungi, tidak akan lahir yang menengah kalau yang kecil tidak dilindungi," kata Irwan.
Kendati demikian, sejujurnya Irwan mengakui penunjukkan langsung proyek infrastruktur pemerintah merupakan langkah yang tidak fair. Namun, untuk proyek-proyek tertentu yang membutuhkan dana besar, seperti tol Trans Sumatera, dinilai sebagai kondisi transisi yang harus digarap oleh BUMN konstruksi raksasa, seperti Hutama Karya.