Bisnis.com, JAKARTA - Indonesian Olefin & Plastic Industry Association (Inaplas) mendukung kebijakan Menteri Perindustrian yang akan membahas usulan penurunan bea masuk impor bahan baku plastik .
Namun, pembahasan penurunan BM itu harus bisa mendorong kemajuan industri dari hulu hingga hilir petrokimia nasional dengan melibatkan semua pihak.
"Penurunan bea masuk impor bahan baku plastik dari 10 persen menjadi 5 persen tanpa pembahasan yang komprehensif dan melibatkan semua pihak dapat mengganggu keberadaan industri plastik hulu nasional," kata Sekjen Inaplas Fajar Budiyono.
Terkait usulan penurunan bea masuk impor bahan baku plastik seperti yang diajukan produsen plastik hilir,
Fajar menjelaskan terkait dengan usulan penurunan BM impor bahan baku dari produsen plastik hilir, saat ini bea masuk impor bahan baku plastik dari negara anggota Asean sebenarnya sudah tidak ada alias nol persen. Dengan demikian, produsen plastik hilir bisa mendapatkan bahan baku impor dengan harga yang tidak jauh berbeda dengan produsen bahan baku plastik domestik.
Thailand dan sejumlah negara anggota Asean lainnya mengalami surplus produksi polypropyelene (PP) dan polyethylene (PE) karena ada penurunan permintaan dari China.
Bahan baku tersebut dapat diimpor dengan bea masuk nol persen, sambungnya, seharusnya sudah dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, ujar Fajar.
"Impor bahan baku plastik seperti PP dan PE saat ini mencapai 600 ribu ton dari total kebutuhan nasional yang mencapai 1,4 juta ton per tahun. Tingginya impor bahan baku plastik tersebut lantaran kapasitas produsen bahan baku plastik domestik masih di bawah kebutuhan nasional, sebesar 800 ribu ton per tahun."
Mengenai pengenaan bea masuk 10 persen yang ditetapkan pemerintah, kebijakan itu terutama ditujukan kepada negara produsen PP dan PE di luar Asean, terutama berasal dari Timur Tengah. Hal itu karena, harga bahan baku plastik dari kawasan tersebut jauh lebih murah dibanding negara-negara ASEAN termasuk Indonesia.
Namun, jika permintaan penurunan bea masuk tersebut dikabulkan, tentunya akan mengganggu industri hulu domestik yang saat ini telah berinvestasi sangat besar dalam meningkatkan kapasitas produksinya.
Fajar mengatakan pemerintah telah memberikan banyak kemudahan untuk industri hilir petrokimia dalam negeri seperti fasilitas tax allowance, tax holiday dan bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP).
Inaplas mendukung rencana Menteri Perindustrian untuk mengkaji bersama dalam mengatasi masalah pasokan bahan baku plastik dengan industri hulu dan hilir, sebelum membahas penurunan bea masuk.
"Apabila ada jenis bahan baku yang belum tersedia atau belum mencukupi, bisa diusahakan melalui BMDTP sepanjang digunakan untuk produksi dan tidak disalah gunakan," ujar Fajar.
Fajar menegaskan, sebenarnya yang perlu dikhawatirkan saat ini justru membanjirnya impor produk plastik dalam bentuk jadi ke pasar Indonesia. Sehingga tidak hanya mengancam industri hilir tetapi juga industri hulu.
Pemerintah sudah memberlakukan perlindungan dengan memberikan SNI, tetapi banyak beredar produk plastik terutama melamine yang tidak memiliki SNI. Bahkan, kendati pemerintah telah mengeluarkan safeguard dengan bea masuk anti dumping, tetapi produk-produk plastik impor tersebut sampai saat ini masih membanjiri pasar Indonesia.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) Cokro Gunawan meminta pemerintah menurunkan bea masuk impor bahan baku plastik dari 10 persen menjadi 5 persen.
Penurunan bea masuk impor tersebut diharapkan mampu meningkatkan daya saing industri hilir plastik karena pasokan di dalam negeri masih kurang.
Menurut Cokro, bea masuk impor 5 persen, dapat membuat industri hilir bertahan ditengah gempuran impor produk plastik luar negeri.
Menanggapi usulan penurunan bea masuk tersebut, Menteri Perindustrian Saleh Husin menyatakan akan membahas hal tersebut dengan seluruh pemangku kepentingan, terutama industri plastik hulu. Sebab, pemerintah menginginkan industri hulu dan hilir dapat tumbuh bersama.