Bisnis.com, JAKARTA - Pembenahan tata kelola penyaluran subsidi energi masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Apalagi, subsidi energi memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mematok anggaran subsidi energi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 senilai Rp210,1 triliun. Subsidi energi pada APBN pertama yang dirumuskan Prabowo tersebut naik 14,3% dibandingkan dengan outlook APBN 2025 yang sebesar Rp183,8 triliun.
Kenaikan anggaran subsidi ini melanjutkan tren peningkatan subsidi dari tahun-tahun sebelumnya. Pada 2024, subsidi energi mencapai Rp177,6 triliun, meningkat 26,5% dibandingkan anggaran 2021 senilai Rp140,4 triliun.
Adapun, anggaran subsidi energi 2026 terdiri atas subsidi jenis BBM tertentu dan LPG 3 kg sebesar Rp105,4 triliun dan subsidi listrik Rp104,6 triliun.
Anggaran subsidi jenis BBM tertentu dan LPG 3 kg pada tahun depan tersebut naik 11,2% dibandingkan outlook 2025 sebesar Rp94,8 triliun. Sementara itu, subsidi listrik mengalami kenaikan sebesar 17,5% dibandingkan dengan outlook 2025 sebesar Rp89,1 triliun. Kenaikan ini terutama disebabkan peningkatan biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik serta peningkatan volume listrik bersubsidi.
Pemerintah menyatakan bahwa dalam RAPBN 2026, alokasi belanja subsidi LPG 3 kg dan subsidi listrik rumah tangga masih berbasis komoditas.
Baca Juga
"Kebijakan transformasi subsidi energi menjadi subsidi berbasis orang/penerima manfaat akan dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan data, infrastruktur, serta kondisi ekonomi dan sosial masyarakat," demikian pernyataan pemerintah dalam Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2026, dikutip Senin (18/8/2025).
Anggaran Subsidi Energi APBN Pertama Jokowi dan SBY
Menilik jauh ke belakang, subsidi energi pada APBN pertama era Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) justru mengalami penurunan. Dalam APBN 2016, anggaran subsidi energi dipatok sebesar Rp102,1 triliun atau turun 25,9% dibandingkan APBNP 2015 sebesar Rp137,8 triliun.
Penurunan anggaran tersebut utamanya disebabkan penurunan anggaran subsidi BBM akibat penurunan harga minyak hingga kebijakan penghapusan subsidi untuk bensin jenis Premium pada 2015. Asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) pada APBN 2016 dipatok US$50 per barel, turun dibandingkan ICP pada APBNP 2015 sebesar US$60 per barel.
Adapun, anggaran subsidi energi sejak 2015 telah mengalami penurunan signifikan dari Rp341,8 triliun dalam realisasi pada 2014 menjadi Rp137,8 triliun pada APBNP 2015 akibat penghapusan subsidi Premium dan anjloknya harga minyak. Asumsi ICP semula US$97 per barel dalam realisasi tahun 2014 menjadi US$60 per barel dalam APBNP tahun 2015.
Begitu pula, di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), anggaran subsidi energi pada APBN pertamanya mengalami penurunan dari Rp104,4 triliun pada 2005 menjadi Rp94,6 triliun pada 2006.
Penurunan subsidi energi tersebut dipengaruhi oleh turunnya subsidi BBM akibat penurunan harga minyak mentah. Namun, pada tahun berikutnya, subsidi energi di era SBY terus mengalami peningkatan menjadi Rp116,9 triliun pada 2007 dan Rp222,6 triliun pada 2008. Meski sempat turun menjadi Rp99,9 triliun pada 2009, subsidi energi terus menanjak hingga pada 2014 mencapai Rp341,8 triliun.
Wacana Skema Baru Subsidi BBM & LPG Era Prabowo
Presiden Prabowo Subianto dalam pidato penyampaian RAPBN dan Nota Keuangan 2026 pada Jumat (15/8/2025), mengingatkan agar subsidi energi harus disalurkan secara adil dan tepat sasaran. Menurutnya, bantuan dari negara itu tidak boleh dinikmati oleh golongan mampu.
Prabowo menyebut, pemberian subsidi itu seiring dengan pengalokasian anggaran sebesar Rp402,4 triliun untuk program ketahanan energi nasional dalam RAPBN 2026.
Menurutnya, dukungan fiskal itu bakal disalurkan lewat subsidi energi, insentif perpajakan, pengembangan energi baru terbarukan (EBT), hingga penyediaan listrik desa.
"Subsidi energi harus adil dan tepat sasaran, bukan lagi dinikmati mereka yang mampu," kata Prabowo.
Dalam kesempatan terpisah, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Ekonomi) mengungkap pemerintah masih menggodok skema atau mekanisme baru penyaluran subsidi energi, khususnya untuk BBM dan LPG 3 kg.
Menteri Kemenko Ekonomi Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah telah menerima data dan laporan terkait kebocoran subsidi energi yang tidak tepat sasaran atau dinikmati oleh kelompok masyarakat kelas atas.
Airlangga menyebut bahwa saat ini pemerintah menggelontorkan subsidi BBM dan LPG secara terbuka. Untuk itu, pihaknya berencana untuk mengubah mekanismenya seperti subsidi listrik.
"Nanti pengguna dari yang sekarang, seperti contoh di sektor listrik, yang langganan tinggi itu mendapatkan harga yang berbeda dengan yang di bawah dengan mekanisme semacam itu bisa diimplementsikan di sektor energi lain," kata Airlangga dalam konferensi pers RAPBN dan Nota Keuangan 2026, Jumat (15/8/2025).
Kendati demikian, Airlangga menuturkan bahwa mekanisme tersebut masih dalam pembahasan internal. Pada waktunya, dia memastikan akan menyosialisasikannya kepada masyarakat sebelum diterapkan skema penyaluran subsidi terbaru.
"Nanti pada waktunya akan disosialiasikan ke masyarakat sebelum dilaksanakan. Namun, sekarang masih dalam penggodokan," tuturnya.
Sementara itu, Ekonom Senior CORE Muhammad Ishak mengatakan, dari perspektif ekonomi makro, subsidi energi masih diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah, yang diperkirakan masih akan lemah pada tahun mendatang.
Apalagi, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2026 hanya sebesar 4,8%.
“Dan kunci keberhasilan pengaturan subsidi adalah tersedianya data penerima subsidi yang akurat,” kata Ishak kepada Bisnis, Sabtu (16/8/2025).
Dia melihat saat ini pemerintah memang telah menyusun Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Namun, banyak daerah yang tidak memperbarui data secara memadai karena kurangnya perhatian dari pemerintah daerah dan keterbatasan anggaran untuk memperbarui data yang bersifat dinamis.
Tanpa data yang akurat, Ishak menilai penyaluran subsidi yang tepat sasaran akan sulit tercapai. Hal ini pun dapat memicu keresahan di kalangan masyarakat bawah.
“Oleh karena itu, skema baru penyaluran subsidi BBM sebaiknya dimulai dengan uji coba [pilot project] di wilayah terbatas. Dari uji coba tersebut, kendala-kendala yang muncul dapat diidentifikasi dan diperbaiki,” tuturnya.
Hal ini juga sekaligus menanggapi rencana pemerintah yang tengah menggodok skema atau mekanisme baru penyaluran subsidi energi, khususnya untuk BBM dan LPG 3 kg.