Bisnis.com, CIREBON—Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia atau Apgasi Jawa Barat meminta pelaku industri pengguna garam menyerap produksi lokal sesuai aturan yang telah ditetapkan.
Ketua Apgasi Jabar M. Taufik mengatakan saat ini industri pengguna garam baru menyerap garam lokal di Madura, dan pihaknya akan berupaya menarik pelaku usaha tersebut untuk menyerap produksi garam di Jabar.
Dia menuturkan selama ini baru satu perusahaan di Cirebon yang rutin menyerap garam hasil petambak lokal. Hal tersebut sebagaimana telah disebutkan dalam aturan jika setiap industri terutama importir wajib menyerap produksi lokal.
“Kami upayakan agar lebih banyak lagi perusahaan pengguna garam yang menyerap garam lokal di Jabar,” katanya kepada Bisnis, Rabu (22/4).
Taufik mengakui saat ini ada sejumlah kendala yang mengadang industri dalam menyerap garam lokal salah satunya mereka lebih tertarik menjualnya ke tengkulak dengan alasan harga jauh lebih tinggi.
“Kalau diserap oleh industri pengguna garam harganya standar, tetapi penyerapannya berkelanjutan. Di samping itu, tidak semua garam lokal memenuhi persyaratan yang ditetapkan industri,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya pun kecewa dengan Pemerintah Kabupaten Cirebon dalam hal ini Dinas Perikanan Kelautan yang tak melibatkan asosiasi dalam pelaksanaan program usaha garam rakyat (Pugar).
Dia mengatakan sejak pugar pertama kali muncul, pemerintah terkesan tertutup khususnya dalam masalah data penerima atau kelompok petani yang mendapat bantuan.
Dia menuturkan dengan tertutupnya pemerintah terhadap data penerima memberikan kesan kuat adanya dugaan penyaluran bantuan tidak tepat sasaran atau adanya penerima fiktif.
“Program 2015 juga begitu, pemerintah pernah mengajak dalam sosialisasi atau yang berkenaan dengan garam,” katanya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Ikatan Petani Garam Indonesia (IPGI) Kabupaten Cirebon Insyaf Supriadi mengungkapkan dalam pelaksanaan program Pugar terkesan pemerintah pusat dan pemerintah daerah kerjasama dan tidak pernah menerima masukan untuk keberhasilan program.
“Contohnya, peralatan yang diberikan program pugar kebanyakan tak dibutuhkan petani dan waktu penyerahannya juga terlambat,” ujarnya.
Insyaf menambahkan para petani yang telah lama berkecimpung dalam produksi garam tentu memiliki pengalaman dan gambaaran tentang hal apa yang dibutuhkan untuk peningkatan produksi dan kualitas garam.
“Nah ini, malah pelaku usaha [petani garam] yang telah puluhan tahun bergelut di sini tapi malah tak dilibatkan,” tambahnya.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIGI) Cucu Sutara mengatakan belum terserap sepenuhnya garam lokal di Jabar untuk pasokan industri akibat tidak memenuhi persyaratan.
Cucu menjelaskan garam yang dibutuhkan untuk industri makanan ini memiliki spesifikasi tertentu, di antaranya kandungan NaCl 97% dan air 0,05%.
Dia menjelaskan kurangnya persyaratan garam lokal untuk dipasok ke industri akibat keterbatasan teknologi pengolahan garam.
"Garam dalam negeri masih bergantung pada pengeringan matahari. Tentunya ini bergantung pada musim. Kalau sekarang musim hujan berarti pengeringannya susah," ujarnya.
Dia menyebutkan dalam setahun industri membutuhkan sekitar 350.000-400.000 ton garam untuk kegiatan produksi mereka antara lain aneka pangan, makanan, dan minuman.