Bisnis.com, JAKARTA — Komite Kebijakan Moneter (MPC) Bank of Thailand (BOT) memutuskan mempertahankan suku bunga acuan dalam pertemuan hari ini. Rabu (26/6/2025). Komite juga merevisi naik proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025, meskipun masih menghadapi sejumlah risiko eksternal seperti tarif AS dan konflik di Timur Tengah.
Dalam rapat kebijakan moneter, tujuh anggota MPC BOT memilih dengan suara 6 berbanding 1 untuk mempertahankan suku bunga repo satu hari di level 1,75%. Keputusan ini setelah dua kali pemangkasan berturut-turut sejak Oktober 2024. Bloomberg melaporkan keputusan BOT untuk menahan suku bunga mencerminkan keterbatasan ruang kebijakan di tengah ketidakpastian global.
Gubernur BOT Sethaput Suthiwartnarueput sebelumnya memperingatkan bahwa cadangan amunisi kebijakan bank sentral sudah menipis setelah pemangkasan total 75 basis poin sejak akhir tahun lalu. MPC menilai bahwa pelonggaran suku bunga sebelumnya telah memberikan bantalan terhadap risiko yang ada.
“Kebijakan moneter sebaiknya tetap akomodatif untuk mendukung pemulihan ekonomi,” tulis MPC dalam pernyataan resminya dikutip dari Bloomberg.
Adapun, BOT kini memperkirakan pertumbuhan ekonomi Thailand pada 2025 akan mencapai 2,3%, sedikit membaik dari perkiraan sebelumnya pada April di kisaran 1,3%–2%.
Sakkapop Panyanukul, Asisten Gubernur BOT mengatakan revisi tersebut didorong oleh membaiknya ekspor dan sektor manufaktur pada paruh pertama 2025, terutama akibat percepatan pengiriman barang sebelum tarif diberlakukan.
Baca Juga
Adapun, untuk 2026, BOT memproyeksikan pertumbuhan ekonomi melambat menjadi 1,7%.
“Ke depan, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan melambat pada paruh kedua tahun ini karena ekspor barang menghadapi tekanan dari tarif AS, serta konsumsi domestik cenderung melemah seiring penurunan pendapatan dan kepercayaan konsumen,” tulis MPC
BOT menyatakan pandangan optimistis terhadap pertumbuhan tahun ini juga ditopang oleh asumsi bahwa perang dagang dengan AS tidak akan separah perkiraan sebelumnya. Skenario dasar BOT memperkirakan tarif terhadap Thailand hanya sebesar 18%, atau setengah dari tarif 36% yang diumumkan pada April.
Meski begitu, dewan mencatat bahwa konsumsi dalam negeri mulai melemah, jumlah wisatawan asing menurun, dan pelaku usaha menghadapi tekanan dari masuknya barang impor murah.
Meskipun demikian, krisis politik dalam negeri turut menambah ketidakpastian. Retaknya koalisi pemerintahan pekan lalu bertepatan dengan negosiasi pemerintah Thailand guna menghindari ancaman tarif 36% dari AS.
Di sisi lain, ketegangan yang masih berlangsung antara Iran dan Israel turut memicu lonjakan harga minyak dunia—sebuah risiko besar bagi Thailand yang bergantung pada impor energi.
UBS Group AG baru-baru ini memangkas rekomendasi atas saham Thailand menjadi netral dari overweight karena kekhawatiran arah kebijakan dan melemahnya sentimen investor.
Dari sisi harga, tekanan inflasi diperkirakan tetap rendah. Inflasi utama diproyeksikan hanya sebesar 0,5% pada 2025 dan 0,8% pada 2026—jauh di bawah target BOT sebesar 1%–3%. Sementara itu, inflasi inti diperkirakan berada di level 1% pada 2025 dan 0,9% pada 2026.
“MPC menilai prospek ekonomi masih sangat tidak pasti. Kami siap menyesuaikan kebijakan moneter sesuai perkembangan risiko ekonomi dan inflasi di masa depan," jelas MPC
Thailand masih menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi paling lambat di kawasan Asia Tenggara. Namun, ekspor negara tersebut melonjak tajam pada Mei 2025—tertinggi sejak awal 2022—karena perusahaan mempercepat pengiriman barang sebelum tarif AS diberlakukan.
Keputusan suku bunga hari ini menjadi salah satu yang terakhir di bawah kepemimpinan Gubernur BOT Sethaput Suthiwartnarueput, yang masa jabatannya akan berakhir pada 30 September.
Panel seleksi independen telah menyaring dua kandidat kuat pengganti Sethaput, yakni Presiden Government Savings Bank Vitai Ratanakorn dan Deputi Gubernur BoT Roong Mallikamas dari enam pelamar yang diwawancarai kemarin.