Bisnis.com, JAKARTA—Kewajiban pelaku industri gula rafinasi untuk memiliki lahan tebu sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan dinilai belum bisa sepenuhnya menghilangkan impor gula mentah.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) Riyanto B. Yosokumoro mengatakan hal ini secara eksternal dipengaruhi peningkatan jumlah penduduk serta pertumbuhan industri makanan dan minuman. Sementara secara internal dipengaruhi oleh proses penanaman bertahap.
“Tidak bisa tahun depan langsung panen. Pembibitan dahulu, setahun kemudian dijadikan bibit lagi, bukan digiling. Begitu terus sampai penuh [lahannya],” ujarnya pada Bisnis, Rabu(20/5/2015).
Dia memperkirakan panen dengan kapasitas penuh baru bisa diperoleh setelah 3-4 tahun. Sementara menanti itu penuh, tentu ada peningkatan konsumsi. “Kalau kebutuhan bertambah ya harus impor. Tapi sedikit saja karena sebagian besar sudah dipenuhi di dalam negeri,” ujarnya.
Riyanto menjelaskan kebutuhan 11 perusahaan gula rafinasi yang ada di Indonesia rata-rata membutuhkan tanah seluas 55.000 hektare atau jika dijumlah berkisar 605.000 hektare.
Untuk penyediaan lahan, pihaknya telah meminta pemerintah agar bisa diberikan lokasi yang memungkinkan.
“Kami minta lahan yang cocok, artinya kontur, permukaan tanah, cuaca, dan kandungan tanahnya cocok untuk tebu. Selain itu, tanahnya juga clean and clear. Kalau masih ada kepemilikan atau apa, ya susah buat kami,” katanya.
Selain itu, dia berharap lahan yang disiapkan pemerintah tidak terlalu kecil dan terpisah-pisah, sehingga memudahkan proses pengolahan dari masing-masing perusahaan.