Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah menaikkan tarif impor barang konsumsi untuk menolong daya saing produk domestik meskipun bertolak belakang dengan upaya mengembalikan daya beli masyarakat.
Kenaikan bea masuk diterapkan pada produk pangan, alat kecantikan, pakaian, tas, kulkas, sepeda motor, dan mobil. Harga barang-barang itu nantinya lebih mahal.
Ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,7% secara tahunan pada kuartal I/2015, laju paling lambat dalam enam tahun terakhir, a.l. terpengaruh oleh pelambatan konsumsi rumah tangga.
Pemerintah saat ini berupaya mengembalikan daya beli masyarakat dengan mengendalikan inflasi untuk memacu lagi konsumsi rumah tangga.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara meyakini dampak kenaikan bea masuk terhadap inflasi akan terbatas.
Menurutnya, barang impor yang mengalami penyesuaian tarif sesungguhnya sudah disubstitusi oleh produk dalam negeri. Oleh karena itu, penguatan daya saing industri domestik menjadi prioritas.
"Pasti ada efek ke situ (konsumsi), tapi menurut saya efeknya tidak besar. Semuanya ada di dalam negeri. Belilah produk-produk Indonesia," ujarnya, Kamis (23/7/2015).
Dalam regulasi baru, bea masuk kopi dan teh naik menjadi 20% dari 5%. Tarif daging olahan berubah menjadi 30% dari 5%. Pakaian dan aksesoris pakaian naik dari 10% menjadi 12,5%-15%.
Bea masuk mobil dikerek dari 10% dan 40% menjadi 20% dan 50%. Minuman keras jenis Brandy, Whisky, dan Vodka berubah dari tarif spesifik Rp125.000 per liter menjadi tarif advalorum 150% dari harga dasar.
Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No 132/PMK. 010/2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan No 213/PMK. 011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor.
Beleid itu berlaku pada 23 Juli 2015 alias 14 hari sejak diundangkan 9 Juli 2015.
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk Anton Hendranata melihat kenaikan tarif lebih ditujukan bagi impor barang premium yang biasa dikonsumsi masyarakat kalangan atas.
"Kalau kenaikan bea masuk untuk barang impor untuk kelas atas, saya kira pengaruhnya kecil menurunkan daya beli masyarakat," ujarnya.
Ekonom Standard Chartered Bank Eric Sugandi justru mengkhawatirkan keputusan itu akan mengundang kecurigaan bahwa Indonesia sedang menjalankan kebijakan proteksionisme.
"Dari sisi inflasi, dampaknya mungkin terbatas karena itu bukan barang-barang primer. Tapi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah kebijakan itu berlawanan dengan ketentuan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia)," ujarnya.