Bisnis.com, JAKARTA—Pelaku industri kimia menyatakan pemerintah wajib mendorong hadirnya penghiliran produksi kelapa sawit guna meningkatkan pendalaman struktur industri nasional dan mengantisipasi melorotnya harga komoditas crude palm oil (CPO) dunia.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar A.D Budiono mengatakan penghiliran industri kelapa sawit sewajarnya menjadi salah satu industri andalan, dengan dukungan melimpahnya bahan baku dalam negeri.
Menurutnya, pemerintah harus memberikan dukungan penuh bagi investor yang siap menanamkan modalnya di sektor oleokimia Tanah Air.
“Infrastrukturnya harus disiapkan dulu, baiknya didekatkan dengan keberadaan bahan baku. Nantinya investor tinggal taruh mesin,” tuturnya saat dihubungi Bisnis, akhir pekan lalu.
Penghiliran industri kelapa sawit dianggap penting, sebab kebutuhan ragam produk oleochemical tinggi, sementara pasokan dalam negeri begitu minim.
Menurutnya, dari berbagai investor yang bergerak dalam industri CPO, saat ini Wilmar yang sudah mendirikan fasilitas produksi oleokimia.
Ragam produk oleokimia a.l fatty acid, glycerin dan fatty alkohol, metalic soap, fatty alkohol sulfate, fatty alkohol ether sulfate, aatty alkohol sufosuccinate dan lainnya.
Beberapa hasil olahan oleochemical ini dapat digunakan di dalam berbagai bidang, sebut saja kosmetik, farmasi, pangan dan sebagainya.
Hadirnya fasilitas produksi produk hilir dari CPO secara tidak langsung juga akan menyukseskan program subtitusi impor pemerintah.
Fajar menambahkan selain mengenai meningkatnya nilai tambah industri, pemerintah juga memperoleh pendapatan dari pajak ekspornya.
“Jadi tidak tergantung dengan harga komoditas, karena kebutuhan oleochemical dunia tinggi. Kalau fasilitasnya ada, toh mereka juga akan menggunakan methanol dalam negeri sebagai campuran, dampaknya begitu luas bagi kita,” ujarnya.
Sepanjang Juli lalu, harga CPO merosot 5% yang diindikasikan oleh penurunan permintaan setelah melonjak pada periode sekitar Lebaran.
Berdasarkan, kontrak berjangka CPO untuk Oktober 2015, kontrak teraktif di Bursa Malaysia, pada 31 Juli melemah 0,28% ke harga 2.118 ringgit per ton.
Bahkan, data intertek juga menunjukkan, ekspor CPO menurun 6,4% dari 1,65 juta ton pada Juni menjadi 1,54 juta ton sepanjang Juli 2015.