Bisnis.com, JAKARTA – Masuknya Indonesia dalam perjanjian kerja sama ekonomi Trans Pacific Partnership (TPP) dinilai membawa lebih banyak dampak negatif dibanding dampak positifnya.
Ketua Umum Indonesia for Global Justice (IGJ) Riza Damanik mengatakan dalam perkembangan situasi ekonomi kawasan, tidak hanya Asia, sesungguhnya TPP tidak memiliki relevansi dalam menyelamatkan ekonomi tiap-tiap negara anggotanya.
Menurutnya, harmonisasi dan integrasi sistem ekonomi yang ada dalam TPP tersebut justru memutarbalikkan logika kedaulatan ekonomi sebuah bangsa. Saat ini mega trading block tersebut telah menyatukan 12 negara yaitu Australia, Brunei Darussalam, Chili, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Vietnam.
“Indonesia tidak patut ikut-ikutan dalam inisiatif tersebut, konsekuensinya lebih buruk,” kata Riza saat dihubungi Bisnis, Jumat (22/10/2015).
Kemungkinan Amerika Serikat, salah satu negara tujuan ekspor utama Indonesia, mengalihkan impornya ke negara-negara anggota TPP menurutnya tidak perlu dikhawatirkan. Seperti dalam hal investasi, Amerika Serikat masih menanamkan banyak modalnya di Indonesia meski kedua belah pihak tidak memiliki kerja sama bilateral investment treaty (BIT).
Indonesia saat ini lanjutnya memiliki lebih dari 60 kesepatakan BIT dengan banyak negara, tetapi tidak dengan AS. Namun, pada implementasinya investasi negara Paman Sam tersebut cenderung lebih besar dibanding negara-negara yang memiliki BIT dengan Indonesia.
“Amerika itu tidak melihat itu. tidak perlu khawatir Amerika akan lari ke tempat lain. Menurut saya itu ketakutan yang dibangun tanpa alasan yang kuat.”
Menurut Riza, seharusnya yang perlu diperkuat oleh pemerintah adalah pembenahan produksi dan daya saing produk dalam negeri; penguatan diplomasi ekonomi; serta penguatan analisis pasar dan direct market yang paling potensial untuk dikembangkan.