Riset & Data Kebaya
Gelisah dengan situasi tersebut, para perempuan pecinta kebaya yang tergabung dalam Komunitas Perempuan Berkebaya langsung menanggapinya sebagai lampu kuning. Mereka tak ingin citra kebaya sebagai pakaian nasional RI bergeser ke Negeri Jiran.
Komunitas yang memiliki 40 anggota di Jakarta itu menunjukkan eksistensi dengan konsisten menggunakan kebaya untuk segala kegiatan sehari-hari. Latar belakang para anggotanya pun bermacam-macam, mulai dari notaris, humas, wartawan, penulis, hingga penerjemah.
"Kami berharap kebaya juga bisa menjadinational herigateyang diakui dunia seperti batik. Apalagi, Malaysia sudah mulai sering mengaku-aku kebaya sebagai milik mereka. Di KTT Asean 2015, [para panitia dari Kuala Lumpur] menggunakan kebaya sebagai pakaian resmi," ujar salah satu pendiri komunitas tersebut, Rahmi Hidayati.
Dia mengaku di beberapa acara internasional di Eropa, di mana dirinya menggunakan kebaya untuk merepresentasikan Indonesia, banyak warga Benua Biru yang mengira dirinya adalah orang Malaysia. Pakaian adatmu seperti milik Malaysiaya, demikian kata mereka.
Pengalaman serupa juga kerap terjadi pada rekan-rekan Rahmi di luar negeri. Karena berkebaya, mereka justru disangka sebagai perempuan asal Malaysia. Betapa ironisnya hal tersebut!
Untuk mengupayakan agar kebaya diakui sebagai warisan budaya milik Indonesia oleh dunia, harus ada perjuangan ekstra keras dari warga Tanah Air. Salah satunya adalah memulai riset yang komprehensif dan pendataan yang kuat tentang kebaya itu sendiri.
Kami selalu membuat kegiatan yang mendukung kampanye berkebaya, seperti belajar membatik bersama. Pada saat bersamaan, kami mengupayakan untuk mendalami kebaya secara ilmiah melalui kerjasama dengan lembaga riset untuk menggali arsip tetang kebaya.
Bagaimanapun, Rahmi mengatakan komunitas yang baru terbentuk pada 4 Desember 2014 itu masih harus melalui jalan yang sangat panjang untuk bisa menggelorakan semangat cinta berkebaya di dalam negeri agar citra kebaya sebagai pakaian nasional bisa diamankan.