Kabar24.com, JAKARTA --Ternyata, sebelum mengalami kecelakaan, pesawat AirAsia QZ8501 tercatat mengalami 23 kali gangguan di bagian yang sama.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi menemukan 23 kali gangguan yang terkait dengan sistem rudder travel limiter di dalam pesawat AirAsia QZ8501 dalam 12 bulan terakhir pada 2014.
"Investigasi terhadap catatan perawatan pesawat dalam 12 bulan terakhir menemukan adanya 23 kali gangguan yang terkait dengan sistem rudder travel limiter," kata Pelaksana Tugas Kepala Sub Komite Investigasi Kecelakaan Transportasi Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (1/12/2015).
Sementara itu, lanjut dia, selang waktu antara kejadian menjadi lebih pendek dalam tiga bulan terakhir.
"Hal jni diawali oleh retakan solder pada electronic module pada rudder travel limiter unit (RTLU) yang lokasinya berada pada vertical stabilizer," katanya.
Nurcahyo mengatakan sistem perawatan yang ada saat itu belum memanfaatkan post flight report (PFR) secara optimal, sehingga gangguan pada RTL yang berulang tidak terselesaikan secara tuntas.
Hal itu lah, lanjut dia, yang menyebabkan empat kali aktivasi tanda peringatan yang terekam pada kotak hitam flight data recorder atau FDR.
Nurcahyo mengatakan hal itu merupakan salah satu faktor yang berkontribusi pada kecelakaan tersebut, yakni perawatan dan analisa di perusahaan belum optimal dan mengakibatkan tidak terselesaikannya masalah yang berulang.
"Kejadian yang sama terjadi sebanyak empat kali dalam penerbangan," katanya.
Nurchayo menuturkan kronologi kecelakaan tersebut dimulai dari retakan solder pada electronic module di Rudder Travel Limiter Unit (RTLU) menyebabkan hubungan yang berselangan berakibat pada masalah yang berkelanjutan dan berulang.
Sejak pukul 06.01 WIB dari keberangkatan pukul 05.35 WIB, flight data recorder atau FDR mencatat terjadi empat kali aktivasi tanda peringatan (master caution) yang disebabkan terjadinya gangguan pada sistem rudder travel limiter (RTL).
"Gangguan ini juga mengaktifkan electronic centralized aircraft monitoring (ECAM) berupa pesan AUTO FLT RUD TRV LIM SYS," katanya.
Berdasarkan pesan tersebut, lanjut dia, awak pesawat melaksanakan perintah sesuai dengan langkah-langkah yang tertera pada ECAM.
"Gangguan pada sistem RTL bukan lah suatu yang membahayakan," katanya.
Dia mengatakan gangguan keempat terjadi pada pukul 06.15 WIB dan FDR mencatat penunjukan berbeda dengan tiga gangguan sebelumnya, namun menunjukkan kesamaan dengan kejadian pada 24 Desember 2014 saat pesawat masih di darat ketika Circuit Breaker (CB) dari flight augmentation computer (FAC) diatur ulang (reset).
Nurcahyo menambahkan tindakan awak pesawat setelah gangguan keempat tersebut mengaktifkan tanda peringatan kelima yang memunculkan pesan di ECAM berupa AUTO FLT FAC 1 FAULT dan keenam yang memunculkan pesan di ECAM berupa AUTO FLT FAC 1+2 FAULT.
"Setelah pesan tersebut, auto-pilot dan atau-thrust tidak aktif, sistem kendali fly by wire pesawat berganti dari normal law ke alternate law di mana beberapa proteksi tidak aktif," katanya.
Dia mengatakan pengendalian pesawat oleh awak pesawat secara manual selanjutnya menyebabkan pesawat masuk dalam kondisi upset conditions, artinya di luar kondisi normal dengan sudut kemiringan lebih dari 25 derajat nose up (ke atas) dan 10 derajat nose down (ke bawah) dan kemiringan ke samping atau bank angle lebih dari 45 derajat.
Dia menambahkan pesawat tersebut juga mengalami kehilangan daya angkat atau stall hingga akhir rekaman FDR.
Pesawat tersebut terbang dengan ketinggian 32.000 kaki di atas permukaan laut dan mengangkut 162 orang yang terdiri dari dua pilot, empat awak kabin dan 156 penumpang termasuk seorang teknisi.
Dalam pesawat tersebut, pimpinan penerbangan (captain pilot) bertindak sebagai pilot monitoring dan co-pilot bertindak sebagai pilot flying.