Persaingan antara kedua negara (Amerika Serikat dan China) ini pun terus berkembang di tengah terus turunnya harga komoditas dunia. AS yang mengumumkan perbaikan kondisi ekonominya sebenarnya masih terseok-seok, mereka belum mendapat keseimbangan neraca perdagangan.
Kesulitan ekonomi yang melanda negara-negara tujuan ekspor mereka seperti Eropa dan China menjadi alasannya. Gejolak dengan disertai kejutan lanjutan pun muncul di China saat pemerintah berupaya melakukan perbaikan ekonomi.
Dalam tiga hari yakni 6, 7 dan 8 Juli 2015, uang yang ada di pasar modal China sebesar US$3,2 triliun tiba-tiba hilang begitu saja. Pemerintah China turun tangan dengan cara menggelontorkan dana likuiditas secara masif.
Negeri Tembok Besar China tersebut meminta agar BUMN memborong saham dengan prospek baik di pasar China, serta melarangnya untuk menjual dalam waktu dekat. Di sisi lain jumlah perusahaan baru yang masuk pasar modal pun juga dibatasi.
Pemerintah menganggap kejadian tersebut merupakan dampak dari aksi margin trading pelaku pasar di China. Para ekonom menuduh bahwa kejadian tersebut didalangi oleh AS yang sengaja ingin ‘menggoreng’ pasar saham China, sehingga menimbulkan gejolak.
Beruntung, aksi cepat tanggap China, berhasil menggiring harga saham domestik naik hingga 8% selama dua minggu. Tak pelak, aksi balasan pun seakan langsung disiapkan oleh China. Tepat pada 11 Agustus 2015 China secara resmi mengumumkan devaluasi yuan sebesar 2%.
Aksi ini sontak mengejutkan pasar global. Yuan kembali melemah, dan harga produk China kembali turun. Otomatis penjualan produk ekspor AS pun tergerus, begitu pula dengan negara lain seperti Jepang dan Korea Selatan yang turut terdampak.
Pasar negara berkembang pun turut bergejolak dengan hebat, dolar AS pun berlarian, dan nilai tukar mereka pun terus terkontraksi. Selain itu, pasar domestik AS pun mengalami kerugian luar biasa. Akibatnya, The Fed yang berancang-ancang akan menaikkan suku bunganya melalui Federal Open Market Committe (FOMC) pada September 2015 pun terpaksa ditunda.
Yellen berlasan, dia masih menunggu adanya keseimbangan di pasar global dan kesiapan secara domestik di AS usai aksi devaluasi yuan tersebut. Tercatat, data tenaga kerja dan perdagangan sepanjang September-Oktober terus memburuk.
Pasar negara berkembang pun turut bergoyang dan menuntut kepastian The Fed. Kecaman pun berdatangan kepada China atas aksi tersebut. Usai itu, Xi Jinping pun beberapa kali mengindikasikan dan berjanji tidak akan melakukan aksi devaluasi kembali.
Terlebih setelah yuan berpeluang besar masuk keranjang cadangan mata uang Dana Moneter Internasional (SDR IMF).