Bisnis.com, JAKARTA – Ikatan Dokter Indonesia menyatakan bahwa perubahan obat yang diresepkan dokter mesti tetap dikonsultasikan dengan dokter sebagai pihak yang secara bertanggung jawab secara etik dan hukum.
Saat ini, pemerintah sedang menyusun perubahan Peraturan Pemerintah No. 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Praktik Kefarmasian, dan Pelayanan Kefarmasian. Yang salah satu pasalnya mengatur bahwa apoteker dapat memberikan alternatif obat yang diresepkan dokter—termasuk dengan obat generik—dengan seizin dokter maupun pasien. Dalam rancangan revisi yang sedang disusun, kewenangan tersebut diusulkan agar diubah menjadi kewajiban.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Zaenal Abidin menyampaikan bahwa perubahan obat seyogianya dilakukan dengan berkonsultasi dengan dokter.
“Sekalipun pasien berhak atas dirinya, namun pasien tidak memeriksa dan menegakkan diagnosa atas dirinya sendiri. Apoteker juga tidak memeriksa pasien. Hanya yang memeriksa berhak menulis dan mengganti resep. Itu salah satu otoritas dokter,” katanya kepada Bisnis, Selasa (26/1/2016).
Menurutnya, pengwajiban apoteker untuk memberikan alternatif justru bisa memberi dampak buruk bagi sistem kesehatan Indonesia. Pasalnya, dalam tiap resep yang dituliskan dokter, ada tanggung jawab etik dan hukum. Kewenangan yang berlebihan justru akan melangkahi otoritas dari dua profesi yang mestinya bekerja sama tersebut.
“Dokter dan apoteker itu wajib berkomunikasi sebagai profesi yang saling membutuhkan untuk kesembuhan pasien. Kalau penghargaan atas kewenangan itu hilang, saya khawatir dokter nulis resep untuk diserahkan sendiri seperti dulu sebelum ada profesi apoteker,” katanya.