Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha industri hasil tembakau (IHT) mengklaim terjadinya penurunan produksi secara tahunan akibat kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang dinilai tinggi.
Data dari produsen menunjukkan produksi rokok selama enam bulan pertama 2025 sebesar 142,6 miliar batang. Jumlah itu turun 2,5% periode yang sama tahun sebelumnya.
Bahkan, angka itu menjadi yang terendah dalam delapan tahun terakhir sejak 2018, kecuali pada 2023.
Adapun, pada Juni 2025 produksi hanya mencapai 24,8 miliar batang, turun 5,7% dibanding Mei dan merosot 3,2% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi mengatakan bahwa kinerja IHT, khususnya sigaret putih mesin (SPM) makin melemah karena tekanan regulasi CHT dan maraknya rokok ilegal.
“Memang kenaikan cukai beberapa tahun terakhir ini sudah sangat tinggi, sehingga menekan pertumbuhan industri,” kata Benny dalam keterangan tertulis, Minggu (24/8/2025).
Baca Juga
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal I/2025 industri pengolahan tembakau mengalami kontraksi terdalam sebesar -3,77% secara tahunan (year-on-year/YoY), berbanding terbalik dengan pertumbuhan 7,63% pada periode yang sama tahun lalu.
Di samping itu, pihaknya mencatat realisasi CHT per Mei 2025 mencapai Rp87 triliun atau sebesar 37,8% dari total target penerimaan CHT tahun ini yang dipatok Rp230,9 triliun.
Menurut Benny, realisasi tahun ini juga dinilai tidak akan mencapai target. Hal ini seiring dengan tren tahun sebelumnya. Pada 2023, realisasi CHT hanya mencapai Rp213,48 triliun atau 91,78% dari target Rp232,5 triliun. Adapun pada 2024, realisasi CHT hanya Rp216,9 triliun atau 94,1% dari target Rp230,4 triliun.
Di samping itu, Benny menyebut pembelian pita cukai sejak Januari 2023 menunjukkan tren pelemahan, yang tercatat turun 14,6% YoY sepanjang 2023, kemudian terkoreksi sebesar 13,8% pada 2024. Pihaknya memperkirakan produktivitasnya berpotensi kian lesu pada 2025.
Lebih lanjut, Benny juga menyoroti maraknya rokok ilegal yang memperburuk persaingan usaha.
“Semakin tinggi cukai, semakin tinggi juga rokok ilegal. Produsen kena persaingan yang tidak sehat, dan dengan rokok ilegal kita nggak bisa bersaing,” jelasnya.
Senada, Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Jawa Timur, Sulami Bahar menilai tekanan paling berat dirasakan pelaku usaha skala menengah dan kecil.
Pasalnya, isu kenaikan cukai yang selalu muncul tiap tahun membuat pabrik-pabrik kecil di Jawa Timur yang merupakan sentra produksi makin terpuruk.
“Di Jawa Timur, yang menjadi salah satu basis IHT, pabrik-pabrik kecil sudah mulai berkurang aktivitasnya. Mereka menghadapi kenyataan bahwa kenaikan cukai tidak diikuti oleh kenaikan daya beli masyarakat,” tuturnya.
Pihaknya melihat kenaikan tarif CHT yang tinggi selama ini menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan gulung tikar bagi banyak usaha kecil. Menurut dia, ancaman itu bukan hanya risiko tapi sudah menjadi fakta di lapangan.
“Pabrik yang dulu menyerap ribuan tenaga kerja kini banyak yang hanya bisa bertahan dengan ratusan atau bahkan puluhan pekerja. Beberapa perusahaan terpaksa menutup usahanya karena tidak lagi sanggup menghadapi tekanan biaya produksi yang melonjak,” jelasnya.
Moratorium Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau
Untuk menyelamatkan industri, Sulami mendorong pemerintah agar memberlakukan penundaan kenaikan tarif cukai atau moratorium selama tiga tahun ke depan.
Kebijakan tersebut dinilai sebagai kesempatan bagi pemerintah dan industri menyusun peta jalan yang lebih berimbang, antara kebutuhan fiskal negara dan kelangsungan hidup jutaan orang yang bergantung pada IHT.
“Moratorium tiga tahun adalah langkah realistis agar industri bisa bernapas dan melakukan penyesuaian,” pungkasnya.
Diberitakan Bisnis sebelumnya, realisasi penerimaan CHT hingga Juli 2025 mencapai Rp121,98 triliun, naik 9,6% YoY.
Namun, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto menjelaskan bahwa pertumbuhan penerimaan CHT tahun ini terutama dipengaruhi kebijakan penundaan pembayaran pita cukai yang berlaku pada 2024.
“Melalui Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. 2/2024, pemesanan pita cukai pada periode 1 Maret sampai 31 Oktober 2024 dapat memperoleh perpanjangan jangka waktu penundaan pembayaran dari 60 hari menjadi 90 hari,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (20/8/2025).
Kebijakan itu diberikan untuk memberikan relaksasi serta mendukung kelancaran arus kas industri hasil tembakau. Hanya saja, pencatatan realisasi penerimaan cukai pada 2024 mengalami pergeseran sekitar 30 hari.
“Pada 2025, ketentuan penundaan pembayaran kembali ke aturan normal yakni 60 hari, karena itu pencatatan penerimaan tercatat lebih cepat dibandingkan tahun sebelumnya,” jelas Nirwala.
Adapun CHT, yang komponen intinya merupakan cukai rokok, merupakan penyumbang utama penerimaan cukai. Total penerimaan cukai mencapai Rp126,85 triliun sepanjang Januari—Juli 2025 atau setara 51,95% dari target sebesar Rp244,2 triliun.