Bisnis.com, JAKARTA—Kalangan arsitek dalam negeri harus mampu berkolaborasi dan secara kreatif menggabungkan aspek-aspek arsitek dengan kewirausahaan demi meningkatkan daya saing di era Masyarakat Ekonomi Asean.
Pendiri PT Saratoga Investama Sedaya Sandiaga Uno mengatakan, era MEA harus dilihat sebagai peluang bagi arsitek dalam negeri untuk membuka diri terutama bagi transfer teknologi. Dominasi asing tidak perlu dikuatirkan karena ada regulasi dalam negeri yang cukup melindungi.
Selama ini, kompetensi arsitek Indonesia belum cukup mendapat pengakuan dari kalangan pengguna jasa dalam negeri, padahal sejumlah karya arsitek dalam negeri terbukti berkualitas dan diakui di luar negeri.
“Bila melihat perkembangan bisnis arsitek di tanah air, saya optimis arsitek kita mampu bersaing dengan arsitek-arsitek luar negeri. Dengan SDM yang ada, mestinya kita bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” katanya dalam siaran pers Iluni Arsitek UI, Selasa (23/2/2016).
Anggota Badan Pertimbangan Organisasi DPP REI Pribudhi Tasman Suriawidjaja mengakui, di tahun 1990-an kualitas konsultan arsitek dalam negeri belum sebaik sekarang. Namun, saat ini keadaan sudah berubah.
“Dulu kita mengundang konsultan asing mereka langsung memberikan masukan rencana pengembang alternatif yang komprehensif, sementara konsultan Indonesia malah bertanya kita mau buat apa. Tetapi sekarang sudah berbeda, arsitek Indonesia sudah jauh lebih baik. Mereka mampu mengusulkan tidak hanya konsep desain, tapi apa yang bisa dijual. Arsitek kita sudah banyak pengalaman,” kata Pribudhi.
DPP REI sendiri mendorong anggotanya, khususnya pengembang daerah, untuk memanfaatkan jasa arsitek lokal. Pasalnya, selain lebih murah, kualitas pekerjaannya pun tidak kalah dengan arsitek asing.
“Di era MEA akan banyak investasi asing masuk. Mereka mungkin bawa konsultasi dari negaranya, tapi mereka tetap butuh partner di sini. Karena mereka tidak menguasai budaya dan adat istiadat lokal,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Departemen Arsitektur UI Yandi Andri Yatmo mengatakan, berkembangan desain dan bisnis arsitektur di Indonesia sangat pesat.
Namun, sayang tidak didukung dengan infrastruktur perundang-undangan yang jelas. Belum ada perlindungan praktek berarsitektur di Indonesia.
Dia berharap, Undang-Undang Arsitektur yang masih di godok DPR dapat selesai tahun ini. Sebab, di are MEA ini, profesi arsitek membutuh regulasi tersebut.
“Di era MEA kita harus berhati-hati karena Indonesia merupakan pasar yang sangat besar. Mestinya arsitek kita yang diserap. Bisnis, cara bekerja, dan sikap merasa jagoan lokal harus diubah,” tegas Yandi.
Yandi menyarankan, arsitek indonesia harus percaya diri jika berhadapan dengan asing sebab mereka lebih paham situasi dalam negeri. Harusnya tidak ada masalah dengan MEA, karena investor asing butuh arsitek Indonesia.