Bisnis.com, JAKARTA - PT Cikarang Inland Port, pengelola pelabuhan kering Cikarang Dryport dengan kode pelabuhan internasional IDJBK, akan melibatkan pengguna jasa melalui asosiasi untuk penetapan tata kelola tarif di fasilitas terminal peti kemas ke depannya.
General Manager Commercial PT Cikarang Inland Port (Cikarang Dryport/CDP) Imam Wahyudi mengaku perusahaan selama ini penetapan tarif sudah didiskusikan dengan pengguna jasa dan tarifnya dimuat di situs resmi CDP.
“Tidak mungkin kita menerapkan tarif tanpa diskusi, tetapi kedepannya kita perlu berdiskusi dengan asosiasi atau pengguna CDP. Sebetulnya, mereka [pengguna] sudah setiap hari berinteraksi dengan kita,” ujarnya, Kamis (21/4/2016).
Dia mengaku sangat kaget ketika ada pernyataan yang mengatakan CDP melakukan penetapan tarif tanpa melibatkan asosiasi atau komunitas pengguna jasa. Untuk itu, dia menegaskan CDP akan melakukan penjembatanan komunikasi antara CDP dan komunitas.
Untuk itu, CDP membuka pintu diskusi dengan asosiasi manapun terkait penetapan tarif. Menurutnya, penetapan tarif seperti yang dilakukan badan usaha pelabuhan (BUP) BUMN menjadi milik pengelola pelabuhan dan otoritas pelabuhan menjadi pihak yang menyetujui skema tarif tersebut.
Kendati CDP berstatus BUP swasta, dia mengaku perusahaan tetap berusaha berkoordinasi dan berkonsultasi dengan sesama BUP lain di wadah Asosiasi Badan Usaha Pelabuhan Indonesia (ABUPI).
“Jadi kami tidak bisa seenaknya menentukan tarif tanpa berkoordinasi,” tegasnya. Dia mengungkapkan perusahaan memiliki hubungan baik dengan ALFI, ALFI Jabar, ALI dan Kadin Indonesia.
CDP sendiri tidak pernah mengambil untung dari tarif atas penimbunan. CDP lebih mengutamakan volume dalam bisnis ini. Ketika ada penyesuaian tarif progresif di Pelabuhan Tanjung Priok sebesar 900% pada hari kedua, dia mengaku CDP untuk pertama kalinya menerapkan cost recovery.
Penerapan cost recovery dilakukan per 14 Maret 2016. Alasannya, CDP harus menerapkan penyesuaian ini karena free time di Pelabuhan Tanjung Priok dipangkas dari tiga hari menjadi satu hari.
“Kenapa kami terapkan, dulu kami mengurus barang keluar di Tanjung Priok tiga hari sudah beres. Sekarang 1 hari saja free time-nya jadi tidak bisa. Bagaimanapun kami akan terkena.”
Imbas dari tarif progresif ini sangat luar biasa karena tarif progresif 900% berjalan satu hari saja total tarifnya sudah jauh lebih mahal dari tarif CDP. “ Kalau kami bertahan, kami berdarah. [Akhirnya] Setelah dua minggu kami mengumumkan adanya cost recovery ini,” tambahnya.
Jika ke depannya ada perubahan dari tarif progresif di Pelabuhan Tanjung Priok, dia menegaskan CDP berjanji akan melakukan penyesuaian tarif cost recovery ini. Adapun formula cost recovery ini adalah dua kali dari hasil tarif progresif 900% yang dikalikan dengan tarif dasar.
Dengan demikian, dia mencontohkan jika tarif peti kemas 20 kaki pada hari kedua di Tanjung Priok sebesar Rp244.800, maka CDP mengenakan cost recovery ke pengguna jasanya sebesar Rp489.600.
Sebagai dryport, CDP tidak bisa seperti Pelabuhan Tanjung Priok. Dalam melakukan bisnis, CDP sangat mempertimbangkan daya beli masyarakat.
Sebelumnya, Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) meminta agar CDP sebagai BUP harus mengadopsi sistem dan mekanisme pentarifan jasa kepelabuhanan sebagaimana yang dituangkan dalam Permenhub No. 6/2013 yang direvisi menjadi Permenhub No.15/2015 tentang Struktur, Jenis dan Golongan Tarif Jasa Kepelabuhanan.
Saat itu, Sekjen Ginsi Achmad Ridwan Tento menegaskan tata kelola pentarifan CDP harus diharmonisasikan dengan pengguna jasa melalui asosiasi. “Kalau acuan dan penerapan tarif di CDP sebagaimana yang dilakukan sepihak saat ini, justru kami nilai tergolong tarif liar,” ungkapnya, Maret lalu.
Kepala Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok Bay M. Hasani mengungkapkan CDP sesuai dengan Permenhub No. 6/2013 yang direvisi menjadi Permenhub No.15/2015 harus melibatkan asosiasi dan pengguna jasa sebelum menetapkan tarif.
“Misalnya dalam penetapan tarif storage harus dibicarakan antara penyedia jasa dalam hal ini CDP dan pengguna jasa melalui asosiasi,” ungkapnya.
Dia menegaskan beleid ini berlaku bagi semua pemegang BUP baik swasta, BUMD dan BUMN.
Selain itu, penetapan tarif pelayanannya harus diketahui oleh otoritas pelabuhan. Dalam hal ini, dia mengatakan CDP harus mengikuti ketentuan induk Pelabuhan Tanjung Priok. “CDP masuknya ke Tanjung Priok.”