Bisnis.com, JAKARTA – Tiap perusahaan kertas harus menanggung sekitar US$430 per pengapalan atau mencapai US$10.230 dalam setahun untuk verifikasi impor waste paper di pelabuhan yang menyebabkan harga kertas dalam negeri melonjak dibanding harga kertas di China.
Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Misbahul Huda mengatakan dalam sebulan, satu perusahaan mengimpor waste paper atau kertas skrap dua sampai tiga kali pengapalan. Dalam anggota APKI ada sekitar 55 perusahaan yang mengimpor waste paper.
“Tergantung kapasitasnya. Kalau pengalaman saya satu perusahaan sekitar 2-3 kali pengapalan dalam sebulan. Waste paper ini digunakan untuk industri pengemasan, kalau pulp digunakan oleh industrial paper seperti kertas HVS. Kemungkinan yang membutuhkan waste paper lebih banyak,” katanya saat dihubungi Bisnis.com, (13/9/2016).
Saat ini produksi kertas mencapai 10,4 juta ton, sementara produksi pulp 6,4 juta ton. Adapun kebutuhan impor waste paper industri mencapai 4 juta ton dalam setahun, sedangkan waste paper yang tersedia di dalam negeri hanya mencapai 2,5 juta dengan kualitas yang kurang baik karena tercampur dengan sampah lainnya.
Hampir setiap industri kertas membutuhkan waste paper sekitar 60%, bahkan industri koran membutuhkan sekitar 80%.
Berbeda dengan negara seperti China dan Amerika yang tidak memberlakukan verifikasi bagi impor waste paper di pelabuhan, melainkan di dilakukan pencocokkan di pabrik sehingga tidak perlu ada biaya khusus yang keluar. Untuk barang yang tidak cocok maka perusahaan ekpsortir akan di-blacklist. Sementara di Indonesia waste paper termasuk dalam kategori limbah non bahan berbahaya dan beracun (B3).
Direktur Eksekutif APKI Liana Brastasida mengatakan kendati tidak dipungut bayaran, setiap perusahaan yang mengimpor waste paper harus menyampaikan self declare sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan No.31/2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non B3.
Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 & Non B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sayid Muhadhar menjelaskan dokumen self declare harus diberikan kepada Kementerian Perdagangan untuk memastikan bahwa yang diimpor tidak tercampur dengan limbah yang lainnya.
"Dokumen self declare itu mengklarifikasi kertas skrap yang diimpor bukan kertas yang diambil dari landfill dan tidak tercampur dengan limbah B3. Selain itu memastikan bahwa barang yang diimpor sesuai dengan HS code-nya dia melakukan ketentuan impor,” terangnya.
Saat ini sistem pengumpulan dokumen self declare tersebut sudah diatur secara online untuk disalurkan ke pelabuhan sehingga pengawasan bisa dilakukan lebih ketat. Di samping itu, impor hanya boleh dilakukan oleh produsen yang menyampaikan bukti bahwa perusahaan memiliki fasilitas produksi agar tidak ada perusahaan yang menjual kembali barang yang diimpor.
Menurutnya, saat ini di negara-negara lain juga menetapkan waste paper sebagai limbah, begitu pula dengan Indonesia yang menggunakan skrap kertas tersebut untuk bahan baku sehingga ada nilai tambah yang dihasilkan.