Bisnis.com, JAKARTA - Petani tebu rakyat menilai penetapan harga eceran tertinggi gula kristal putih atau gula konsumsi Rp12.500 per kilogram terlalu rendah.
"HET itu ditetapkan berdasarkan harga gula internasional," ujar Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Nur Khabsyindi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (17/1/2017).
Nur Khabsyin mengatakan seharusnya pemerintah dalam menetapkan harga eceran tertinggi (HET) tersebut harus memasukkan perhitungan besaran harga pokok penjualan (HPP) ditambah margin distribusi. "HET yang tepat ada pada angka Rp14.000 per kilogram," kata Khabsyin.
Dasar penentuan HPP tersebut mencakup biaya pokok produksi (BPP) ditambah margin untuk para petani. Tercatat, pada 2017, BPP tersebut mengalami kenaikan komponen biaya kerja di kebun dan transportasi dan berada pada kisaran Rp10.000 per kilogram, sementara untuk HPP sebesar Rp11.500 per kilogram.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan memutuskan untuk menambah kuota impor gula mentah atau raw sugar 400.000 ton, untuk memenuhi kebutuhan pasar konsumsi dalam negeri yang diakibatkan turunnya produksi dalam negeri.
Berdasar catatan Kementerian Perdagangan konsumsi gula dalam negeri berkisar antara 3,2 juta - 3,5 juta ton per tahun, dengan asumsi minimum 250.000 per bulan. Sementara untuk jumlah produksi gula tebu dalam negeri hanya sekitar 2,1 juta ton sehingga ada kekurangan kurang lebih satu juta ton tiap tahunnya.
Pemerintah menetapkan harga ecerean tertinggi untuk gula kristal putih tersebut Rp12.500, yang tertuang dalam kesepakatan kerja sama antara para produsen dan distributor.
Namun, APTRI menilai distribusi gula kristal putih oleh perusahaan rafinasi tersebut dinilai berpotensi lebih besar dari jumlah yang diimpor. Tercatat, kurang lebih kebocoran gula rafinasi ke pasar konsumen mencapai 300.000 ton per tahun.
"Yang penting ditetapkan sebetulnya adalah HPP gula tani dalam rangka untuk penyanggaan harga kepada petani bukan penentuan HET," kata Khabsyin.
Berdasarkan data APTRI, untuk stok gula saat ini masih mencukupi sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah untuk mengimpor gula mentah guna menambah pasokan gula konsumsi. Stok gula dari produksi giling 2016 kurang lebih ada 800.000 ton ditambah sisa ex-impor sebesar satu juta ton.
Stok tersebut dinilai masih mencukupi hingga Mei 2017 atau musim giling berikutnya. Sementara untuk produksi 2016, APTRI mencatat sebanyak 2,2 juta - 2,7 juta ton per tahun.
Pada 2016, Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Persero mendapatkan penugasan impor sebanyak 300.000 ton dan Perum Bulog 267.000 ton ditambah 100.000 ton gula putih (white sugar).
Selain itu, PT Perkebunan Nusantara dan RNI sebanyak 114.000 ton, commisioning test untuk PG KTM, PG Dompu dan PG Glenmore sebesar 270.000 ton, PG Gorontalo mendapatkan 25.000 ton dan PG Adi Karya Gemilang sebanyak 50.000 ton.
Impor juga ditambah gula untuk operasi pasar oleh Inkopol, Inkopkar dan lain-lain sebanyak 400.000 ton. Sehingga total impor untuk konsumsi pada 2016 adalah 1,42 juta ton.