Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Gas Belum Turun, Pabrikan Keramik Menunggu Janji

Pabrikan keramik terus menunggu janji pemerintah untuk menurunkan harga gas industri seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Pekerja melakukan aktivitas penambangan kaoline, bahan baku untuk industri keramik, di Belitung Barat, Rabu (25/3/2015)./Antara-Vitalis Yogi Trisna
Pekerja melakukan aktivitas penambangan kaoline, bahan baku untuk industri keramik, di Belitung Barat, Rabu (25/3/2015)./Antara-Vitalis Yogi Trisna

Bisnis.com, JAKARTA—Pabrikan keramik terus menunggu janji pemerintah untuk menurunkan harga gas industri seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

Dalam beleid tersebut, pemerintah menjanjikan penurunan harga gas untuk tujuh sektor industri, yaitu pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia Elisa Sinaga menyatakan pabrikan keramik domestik amat menantikan realisasi janji pemerintah itu. “Tapi sampai hari ini janji itu belum juga direalisasikan. Padahal kami sangat berharap janji itu bisa segera dieksekusi,” ujar Elisa kepada Bisnis, Minggu (11/6/2017).

Menurutnya, insentif penurunan harga gas merupakan faktor kunci bagi pabrikan untuk meningkatkan daya saing produk. Sebab biaya yang dikeluarkan produsen keramik domestik untuk biaya gas mencapai separuh komponen biaya produksi.

Rata-rata pabrikan keramik domestik masih menanggung biaya gas yang cukup tinggi, yaitu mencapai US$9 per million metric bristish thermal unit (MMBtu). Padahal, pabrikan negara negara kompetitor di pasar ASEAN setidaknya memperoleh harga di kisaran US$3—US$4 per MMBtu.

“Makanya sulit kalau memang mau menggenjot volume ekspor. Biaya gas untuk industri kita saja masih salah satu yang tertinggi di dunia,” kata Elisa.

Produsen keramik domestik menyadari memang pemerintah Indonesia belum bisa seperti China yang gencar menebar insentif bagi industri strategis nasional. Hanya saja, pemerintah perlu serius menurunkan berbagai komponen biaya produksi yang masih belum efisien. Beberapa di antaranya merupakan harga gas, tarif listrik, dan biaya logistik.

Sebelumnya, Asosiasi memproyeksikan volume penjualan keramik tahun ini tidak akan lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu akibat bisnis properti yang masih lesu dan gempuran produk impor.

Pertumbuhan volume penjualan pada kuartal pertama diperkirakan tidak banyak berubah dengan periode yang sama tahun lalu. Pengaruh tidak membaiknya sektor properti menjadi salah satu indikasi penyebab minimnya permintaan keramik di pasar domestik.

"Tahun ini diperkirakan volume penjualan keramik tidak bisa meningkat secara signifikan. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda perbaikan dari segi permintaan terhadap produk keramik," ujar Elisa.

Perlambatan pertumbuhan sektor properti melandai ikut memukul permintaan keramik. Akibatnya sekitar enam pabrik harus menghentikan produksi untuk sementara. Jika keadaan ini dibiarkan terus, beberapa tahun mendatang kuantitas pabrik yang menghentikan produksi untuk sementara akan semakin bertambah.

Data Bank Indonesia menunjukkan perlambatan penjualan properti residensial secara kuartalan dari yang semula 5,06% pada kuartal IV/2016, menjadi 4,16% pada kuartal I/2017 karena terbatasnya permintaan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper