Bisnis.com, JAKARTA -- Kalangan pengusaha menduga runtuhnya bisnis jaringan ritel Seven Eleven bermula sejak pemerintah melarang penjualan bir di minimarket.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani menyatakan pelarangan itu akhirnya memukul kinerja penjualan Seven Eleven di Indonesia.
“Penjualan mereka itu mulai drop ketika penjualan minol di minimarket mulai gak diperbolehkan pemerintah. Dari situ mereka kehilangan competitive advatange dibanding pesaingnya,” ujar Hariyadi di Jakarta, Senin (26/6/2017).
Padahal, persaingan di bisnis ritel sangat ketat karena hanya mengambil marjin keuntungan yang tipis dari penjualan produk.
“Tapi di luar pelarangan penjualan minol itu, kita juga ga tau apakah mereka sebenarnya cukup solid mengantisipasi persaingan ritel yang sangat berat. Apalagi dia pemain yang baru karena baru masuk Indonesia paling belakangan.”
Menurutnya, persaingan yang ketat mengharuskan pemilik modal berhati hati dalam penentuan strategi bisnis. Pasar ritel umumnya perlu membidik pangsa pasar strategis yang terbatas. Sementara, seluruh gerai Seven Eleven menyasar target konsumen yang tidak terkonsentrasi pada titik tertentu.
Baca Juga
“Misalnya lihat Indomart dan Alfamart kan hanya terkonsentrasi di beberapa titik saja. Circle K juga kuatnya hanya di Bali dan kliennya memang turis saja. Di bisnis ritel, begitu salah strategi sedikit saja, dampaknya langsung rugi karena marjinnya sangat tipis,” kata Hariyadi.
Terlebih, persoalan keuangan juga menerpa PT Modern Sevel Indonesia sebagai entitas pengelola bisnis jaringan retail Seven Eleven.
“Sudah mengalami permasalahan keuangan, sudah begitu Charoen Pokhphand yang sempat mau ambil alih akhirnya mundur. Dengan begitu sebetulnya tidak heran Sevel gak bisa bertahan lebih lama.”