Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Arif Budisusilo

Direktur Pemberitaan Bisnis Indonesia

Bergabung dengan redaksi Bisnis Indonesia pada 1996. Menulis isu ekonomi makro dan entrepreneurship. Belakangan memberi perhatian pada perkembangan media dan ekonomi digital. Twitter @absusilo

Lihat artikel saya lainnya

Jurus #Jokowinomics versus #AnomaliEkonomi

Tanpa menarik minat swasta, pemerintahan Pak Jokowi akan pening sendirian, yang dapat berisiko mewariskan banyak proyek infrastruktur yang mangkrak tak terselesaikan, dan akan menjadi monumen kegagalan. Nah, bagaimana menurut Anda?
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) berbincang dengan Direktur Pemberitaan Bisnis Indonesia Arif Budisusilo (tengah), Pemimpin Redaksi Hery Trianto (kedua kanan), Redaktur Pelaksana Maria Yuliana Benyamin (kanan), dan reporter Arys Aditya, di Istana Merdeka Jakarta, Senin (10/7)./JIBI-Dwi Prasetya
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) berbincang dengan Direktur Pemberitaan Bisnis Indonesia Arif Budisusilo (tengah), Pemimpin Redaksi Hery Trianto (kedua kanan), Redaktur Pelaksana Maria Yuliana Benyamin (kanan), dan reporter Arys Aditya, di Istana Merdeka Jakarta, Senin (10/7)./JIBI-Dwi Prasetya

Judul tulisan ini sengaja menggunakan hashtag. Bukan untuk latah. Tapi memang, di era komunikasi millenials, banyak yang senang mengumbar tanda pagar.

Coba saja tengok aplikasi pesan di gadget atau akun media sosial para follower Anda. Dikit-dikit, muncul hashtag. Mau protes, bikin hashtag. Di kompetisi idol pun, cara mendukung jagoan juga pakai tanda pagar.

Bahkan, membalas surat cinta pun menggunakan hashtag: #KamuTerlaluBaikBuatSaya, atau #MaafKitaBertemanSaja. Maka, harap maklum apabila ulasan ini ikut-ikutan pakai hashtag.

Hashtag kali ini pun sengaja soal ekonomi, bukan politik. Rasanya sudah jenuh dengan isu politik yang berseliweran setiap saat. Peristiwa apa saja selalu menjadi isu politik. Penangkapan penjahat pun kini menjadi isu politik.

Perhatikan saja, di perangkat komunikasi yang setiap saat ada dalam genggaman kita, nyaris tak pernah lekang bicara politik: soal benci atau suka. Buat saya, #PolitikKianMembosankan.

Maka dari itu, kita bicara ekonomi saja. Soalnya, isu ekonomi sempat ‘terlewatkan’, bahkan oleh para pejabat pemerintahan termasuk Presiden Joko Widodo sendiri. Padahal, pekerjaan rumah di bidang ekonomi masih menumpuk.

Karenanya, saya senang saat berkesempatan wawancara khusus dengan Presiden, Senin (10/7) lalu di Istana Negara, tatkala Pak Jokowi, panggilan akrab Joko Widodo, punya tekad yang sama.

Pak Jokowi antusias menjelaskan, fokus pemerintahannya ke depan adalah mempercepat penyelesaian pekerjaan rumah di bidang ekonomi. Presiden akan kebut-kebutan, karena dua tahun terakhir ini akan menjadi pertaruhannya.

Ia gemas, karena waktu seakan habis tersita untuk gaduh politik di seputar Pilkada DKI. Ia merasa telah kehilangan waktu banyak karena urusan politik. “Memang 6 bulan kemarin kita agak kehilangan waktu. Ini kita kejar-kejaran lagi,” ujar Pak Jokowi.

Terlebih, sebenarnya kondisi ekonomi tidak sepenuhnya buruk. Menjadi catatan khusus, di tengah situasi ekonomi dunia yang sangat sulit seperti sekarang ini, Indonesia masih mampu tumbuh di atas 5%.

Presiden juga tak ingin kehilangan momentum. Setelah lembaga pemeringkat Fitch, Moody’s, dan S&P memberikan peringkat layak investasi (investment grade), menjadi momentum kepercayaan yang tinggi kepada Indonesia. “Momentum ini jangan sampai lepas,” katanya.

“Dunia internasional percaya kita mampu mengelola ekonomi, mampu mengelola fiskal, mampu mengelola APBN, dan moneter. Ini kesempatan. Mestinya dengan momentum ini, kepercayaan bertambah. Sehingga arus uang masuk, arus modal masuk, arus investasi semakin banyak. Saya mau ambil momentum kepercayaan ini,” Pak Jokowi memaparkan.

Nadanya, setuju atau tidak, terdengar optimistis.

***

Meski begitu, Pak Jokowi bilang, ada kondisi anomali dalam perekonomian kita. Di saat hampir semua indikator perekonomian membaik, tetapi wajah ekonomi di sisi mikro terlihat agak kusut.

Ia menyebut berbagai angka statistik, seperti pertumbuhan ekonomi menempati posisi tiga terbaik di kalangan negara G-20. Lalu cadangan devisa mencapai US$125 miliar, yang cukup membiayai 9 bulan impor dan membayar utang. Pertumbuhan ekonomi diyakini juga lebih berkualitas, karena tidak semata-mata disumbang konsumsi tetapi juga investasi dan surplus ekspor-impor.

Kondisi neraca transaksi berjalan juga membaik, stabilitas harga terjaga terlihat dari indikator inflasi yang stabil, suku bunga telah mulai menurun, dan arus modal masuk semester I tahun ini cukup besar. Presiden menyebut angka Rp124 triliun, sudah menyamai rekor tahun 2016 yang hanya mencapai Rp126 triliun sepanjang tahun.

Di pihak lain, publik justru mempersepsikan ekonomi lesu, dan banyak dugaan menyebutkan daya beli masyarakat turun. Itulah yang disebutnya sebagai anomali.

Lantas bagaimana menangkal anomali itu? Pak Jokowi tampaknya akan konsisten dengan formula non-linearnya.

Ia akan gerak cepat menggenjot infrastruktur, memperbaiki kemudahan berbisnis, dan melanjutkan reformasi struktural, guna memanfaatkan momentum layak investasi.

“Dengan investment grade itu banyak pekerjaan rumah yang harus secepatnya diselesaikan. Jangan sampai peringkat investasi itu sia-sia,” tegasnya.

Kecepatan perizinan, penyelesaian infrastruktur yang mendukung kawasan industri dan pertumbuhan ekonomi, menjadi prioritas. Ia juga menginginkan diversifikasi komoditas ekspor berdaya saing, di luar komoditas tradisional. Caranya menawarkan berbagai insentif bisnis dan investasi.

***

Namun tantangan terbesar Pak Jokowi adalah mengelola berbagai megaproyek infrastruktur dari risiko mismatch, bahkan bisa gagal jika tidak dikelola dengan baik.

Lantaran menggenjot infrastruktur, baru kali ini pemerintah pegang rekor pembebasan lahan yang begitu besar, bahkan kekurangan anggaran. “Malah terlalu cepat, duitnya nggak ada,” ujarnya.

Namun ia bertekad, akan mencegah risiko mismatch itu dan mengejar penyelesaian proyek infrastruktur dengan cara non-linear, terutama dari sisi pembiayaan.

Selama ini, momok utama dalam pembangunan infrastruktur adalah pembiayaan. Di masa lalu, bahkan pemerintah lebih suka mengumbar subsidi yang habis di jalan raya dibandingkan dengan membangun infrastruktur. Akibatnya, Indonesia jauh tertinggal.

Ini lantaran perspektif sempit, bahwa pembangunan infrastruktur semata-mata hanya mengandalkan sumber pembiayaan APBN. Di tengah uang APBN yang terbatas, risiko membangun infrastruktur akan sangat besar. Itu di masa lalu.

Kini, Pak Jokowi kekeuh untuk menerabas cara pandang itu. Apalagi, infrastruktur dibutuhkan untuk mendorong percepatan ekonomi dan perbaikan daya saing nasional guna mengundang investasi.

Karena itulah, pemerintah membuat formula baru, pembiayaan infrastruktur tidak semata mengandalkan APBN. Dari total kebutuhan pembiayaan Rp4.900 triliun untuk infrastruktur, porsi APBN hanya memasok Rp1.500 triliun, atau kira-kira hanya 30%. Sisanya, 70% diharapkan dari BUMN dan sektor swasta.

BUMN didorong untuk melakukan langkah terobosan. Bukan sekadar mengandalkan suntikan modal pemerintah alias PMN, melainkan mampu mengoptimalkan asetnya untuk pendanaan, termasuk melakukan sekuritisasi.

Model bisnis BUMN yang baru, menurut Jokowi, bukan harus memiliki, tetapi tugas mereka adalah membangun. “Kalau nggak punya duit, ya partneran. Kalau punya aset, sekuritisasi,” katanya.

Pak Jokowi pun mengaku ndableg saja, ketika gagasan sekuritisasi aset BUMN dipelesetkan menjadi upaya menjual aset. “Saya pengennya menyederhanakan. Ini bukan menjual, tapi menyewakan 10 tahun, 20 tahun atau 30 tahun. Nanti balik lagi. Gitu loh,” tuturnya.

Tapi bukan berarti pemerintah menutup peluang swasta. Justru peluang pertama diberikan kepada swasta, asalkan layak secara bisnis mengingat sektor swasta memiliki perhitungan yang berbeda. Karenanya, pemerintah melakukan berbagai deregulasi untuk memudahkan iklim bisnis.

Kini juga tengah dikembangkan skema pembiayaan proyek infrastruktur multimiliar dolar itu, antara lain Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah yang disebut PINA. Skema PINA telah ditawarkan kepada investor dan perusahaan equity financing dari berbagai negara seperti Jepang, Australia, Belanda dan Kanada.

Skemanya lebih sederhana, karena perusahaan pembiayaan bisa terlibat dalam bentuk penyertaan modal, meskipun tak tertutup kemungkinan investor juga tertarik dengan skema public private partnership.

Karenanya, Pak Jokowi nggak khawatir adanya risiko mismatch dari megaproyek infrastruktur –jalan tol, listrik, pelabuhan, LRT, MRT dan kereta cepat—apalagi menjadi proyek mangkrak. “Ya kalau [cara] kita ini hanya rutinitas, hanya monoton, hanya linier, ya bisa kejadian,” katanya.

Fokus itu tampaknya sejalan dengan upaya memperbaiki konektivitas, yang bertujuan memangkas biaya logistik hingga ke level 19% pada 2019, dari saat ini sekira 24% dari GDP Indonesia.

Anda tahu, porsi terbesar sumber inefisiensi logistik, yang berkisar 70%, adalah biaya transportasi, karena kondisi infrastruktur yang buruk.

Namun, gerak cepat akan sulit terjadi apabila gangguan politik tak bisa ditangani. Ini adalah tantangan tersendiri bagi Presiden Jokowi.

Sayangnya, saya belum memperoleh jawaban, bagaimana Pak Jokowi mengendalikan stabilitas politik ke depan. “Yang main ekonomi jangan terframing urusan politik,” hanya itu yang saya dengar. Kita menunggu saja, barangkali ada jurus non-linier lainnya di sisi politik.

Di luar itu, saya sepakat bahwa Indonesia harus gerak cepat, dan berani menggunakan pendekatan lateral, bukan linear. Jurus itu barangkali yang perlu ditekankan, karena kita sudah jauh tertinggal.

Mari kita lihat, apakah dalam dua tahun ke depan, jurus pembangunan atau pendekatan kebijakan yang kini mulai disebut sebagai Jokowinomics itu akan membuahkan hasil, atau tidak.

Indonesia memang perlu ngebut membangun infrastruktur, plus reformasi struktural. Merujuk catatan Bank Dunia, proses reformasi struktural perlu dilanjutkan untuk menopang kinerja ekonomi Indonesia. Harapannya, ekspansi dan stabilitas ekonomi berlanjut.

Ini langkah strategis untuk menarik minat investasi swasta lebih luas dalam membiayai perekonomian Indonesia, yang menyimpan potensi amat besar, tetapi masih jauh tertinggal. 

Tanpa menarik minat swasta, pemerintah akan pening sendirian, yang dapat berisiko mewariskan banyak proyek infrastruktur yang mangkrak tak terselesaikan, dan akan menjadi monumen kegagalan. Nah, bagaimana menurut Anda? (*)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper