Di tengah hingar-bingar debat publik mengenai pembangunan sumberdaya manusia yang mewarnai kampanye pemilihan presiden hari-hari ini, untuk ketigakalinya saya kembali membaca buku berjudul Start-up Nation: The Story of Israel's Economic Miracle.
Buku ini terbit pertama tahun 2009. Penulisnya dua orang; Dan Senor dan Saul Singer. Latar belakang penulisnya lengkap. Dan Senor punya background sebagai pebisnis dan pernah bekerja di pemerintahan, sedangkan Saul seorang jurnalis yang juga pernah bekerja di pemerintahan.
Senor bermukim di New York, belajar di Israel, dan pernah tinggal serta banyak melakukan perjalanan di dunia Arab. Dia juga investasi di beberapa perusahaan di Israel. Sedangkan Saul tumbuh dan banyak beraktivitas di Amerika Serikat, lalu mukim di Yerusalem.
Saya pertama kali membaca buku itu tahun 2011. Kebetulan, setahun kemudian saya berkesempatan pergi ke Yerusalem dan beberapa kota di Israel, atas undangan sebuah yayasan.
Kala itu saya merasa beruntung, lantaran dapat bertemu langsung dengan salah satu penulis buku Start Up Nation itu, Saul Singer. Kami ngobrol ihwal 'keajaiban' Israel.
Inti cerita dari buku Start Up Nation itu sesungguhnya seperti judulnya, yakni fenomena keberhasilan Israel dalam pemusatan inovasi dan entrepreneurship di dunia, seperti yang terlihat saat ini.
Saat buku terbit, 10 tahun silam, di negeri berpenduduk 7,1 juta itu telah memiliki 3.850 start up. Itu berarti ada 1 start up di setiap 1.844 penduduk.
Pada 2008, investasi modal ventura per kapita di Israel sudah 2,5 kali lipat lebih besar dari Amerika Serikat, 30 kali lebih besar dari Eropa, 80 kali lebih besar dari China, dan 350 kali lipat dari India.
Bahkan, kendati berkali-kali berkecamuk perang dengan tetangga sekitarnya, tidak lantas membuat ekonomi Israel terpuruk.
Dilukiskan, dalam dekade itu, perekonomian Israel berlipat dua kali lipat kendati menghadapi tiga kali perang. Situasi ini tidak ada bandingannya dalam sejarah ekonomi dunia.
Lebih dari itu, Israel kini menjadi pusat riset dan inovasi hi-tech dunia, dan menjadi eksportir paten dan hi-tech yang unggul.
Bahkan, sektor pertanian Israel menjadi salah satu model pertanian termaju dunia, dengan penerapan smart-farming serta campurtangan teknologi yang tinggi dalam memaksimalkan keterbatasan sumberdaya alamnya.
Ketiadaan air (desalinasi air laut) dan lahan (kebanyakan gurun pasir) bukan menjadi kendala dalam memajukan pertanian di negeri itu.
Lebih dari semua itu, entrepreneur Israel berlanjut performed dalam cara-cara yang tak terbayangkan.
***
Lantas apa resep 'keajaiban' ekonomi Israel itu?
Tanpa bermaksud menyederhanakan isi buku Start Up Nation tersebut, kuncinya, seperti digarisbawahi para penulisnya; keunggulan karakteristik sumberdaya manusia.
Israel adalah bangsa yang secara geografis terjepit di antara 'musuh-musuh' ideologisnya, bangsa Arab yang mengelilinginya. Negeri itu tidak memiliki sumberdaya alam. Jumlah penduduknya juga tidak banyak, cuma sekitar 7 juta. Luas geografisnya tak seberapa besar.
Tidak ada bonus geografi. Pun tidak ada pula bonus demografi. Namun jangan ditanya. Manusianya memiliki militansi luar biasa. Inovasi dan spirit pantang menyerah yang tiada tara.
Perekonomian kecil lainnya seperti Singapura, Korsel, dan Taiwan juga mencatatkan rekor kemajuan ekonomi yang luar biasa seperti Israel. Tetapi tidak ada yang dapat menandingi Israel dalam memproduksi kultur entrepreneurship.
Banyak yang lalu mengaitkan dengan spirit bangsa Yahudi. Tetapi Saul dan Dan menunjukkan bahwa bukan faktor Yahudi-lah sesungguhnya di balik spirit inovasi dan entrepreneurship yang supertinggi itu. Faktor utamanya: spirit, cara berfikir dan sikap mental mereka yang unggul.
Namun bukan berarti mereka kebal dari kegagalan. Kegagalan merupakan karakteristik umum tingginya kegagalan start up. Tetapi kultur orang Israel dan pemerintahannya mencerminkan sikap yang unik terhadap kegagalan.
Ada kultur untuk terus menerus membawa masuk entreprener yang gagal ke dalam sistem yang secara konstruktif menggunakan pengalamannya untuk mencoba dan mencoba lagi, ketimbang "kapok permanen" lalu dilabel dengan stigma gagal dan dimarginalisasi.
Ada satu terminologi sifat atau karakter orang Israel yang disebut chutzpah. Orang luar akan menemukan karakter chutzpah itu di mana-mana: dalam cara mahasiswa berargumentasi dengan dosennya, staf men-challenge bosnya, sersan mendebat jendralnya.
Orang luar menganggap sikap semacam itu adalah sikap arogan. Namun bagi orang Israel, hal itu dianggap wajar dan normal. Justru kondisi itu menjadi pencetus kultur inovasi yang nyata.
Ketegasan dan keberanian adalah cerminan dari rasa ketakutan akan kegagalan, yang kerap membuktikan jauh lebih powerul ketimbang harapan akan keberhasilan.
Maka itu, tak heran anak buah berani bilang kepada bosnya: "Anda salah." Berani bilang, ada cara lain yang lebih baik.
"Asertiveness (ketegasan), kritis, berfikir independen, ambisi dan visioner," adalah deskripsi yang pas untuk menggambarkan tipikal mental entrepreneur dan kebanyakan orang Israel.
Terminologi lain yang kerap dipakai adalah mentalitas rosh gadol. Kata itu berarti kepala besar, atau big head. Tapi bukan besar kepala.
Lawannya adalah rosh kattan, atau small head. Mentalitas rosh kattan itu mirip dengan sopir taksi yang bertugas mengantarkan penumpang sesuai argo.
Maaf, tentu saya tidak bermaksud mendiskreditkan sopir taksi. Kebanyakan manusia bekerja berdasarkan apa yang dia dapatkan, seperti mengantar penumpang sesuai yang membayar argo taksi.
Maka tak heran, di lingkungan kerja dengan spirit rosh kattan, para pekerja akan bermental argo: kerja sesuai argo saja. Kerja asal saja.
Nah, manusia yang memiliki spirit rosh gadol bertindak dan bermental sebaliknya. Mereka menjalankan pekerjaannya beyond responsibility-nya. Helpfull, komit, do the best, dan solve the problem. Bahkan create new solution.
Karakter itu menjadi cirikhas para inventor dan inovator, bahkan bagi kebanyakan warga Israel. Karakter itu tidak lahir begitu saja, melainkan dibentuk melalui pendidikan, dan penanaman melalui proses yang sistematis, yang didukung wajib militer selama tiga tahun.
***
Untuk menjadi bangsa unggul, ujung-ujungnya sangatlah tergantung bagaimana manusianya. Maka, pekerjaan rumah kita hari ini adalah bagaimana mengurus manusia supaya menjadi sumberdaya yang unggul.
Bagi Indonesia, di sinilah tantangannya. Kita memiliki bonus demografi yang begitu besar. Populasi Indonesia saat ini sudah lebih dari 265 juta jiwa. Kelas menengah juga terus tumbuh. Ini modal manusia yang begitu besar.
Namun mengurus manusia bukanlah pekerjaan mudah. Saya ingat walikota Surabaya Tri Rismaharini, yang mengatakan bahwa mengurus manusia butuh ketangguhan luar biasa.
Membangun manusia haruslah mulai dari fase anak-anak. Keberhasilan mengurus manusia akan membuat bangsa tangguh. Sebaliknya, kegagalan mengurus manusia, akan membuat bangsa semakin tertinggal.
Tentu, saya setuju dengan Bu Risma, yang sudah melakukannya. Surabaya, setidaknya sudah banyak dan jauh berubah, karena diawali dengan mengurus manusia, memperbaiki pendidikan dan mentalitasnya.
Sayangnya, sumberdaya manusia Indonesia belum sepenuhnya siap menjadi modal yang produktif.
Meski begitu tak perlu berkecil hati. Modal kita besar dan kuat. Dalam banyak kasus, siswa Indonesia kerap menjadi juara di tingkat internasional dalam adu pintar. Sebutlah olimpiade matematika, atau olimpiade science di tingkat global.
Dalam kasus yang lain, Indonesia juga sudah mengalami banyak keberhasilan. Baru-baru ini kita sukses menggelar (tentu mengelola dengan cara yang baik): Asian Games di Jakarta.
Sepakbola, yang dianggap selalu gagal, juga baru-baru ini kita juara di turnamen AFF U-22. Artinya, kita semestinya bisa, punya potensi bisa.
Di lini bisnis, Indonesia juga memiliki banyak sekali entrepreneur yang berhasil. Ribuan start up lahir setiap tahun. Bahkan Indonesia sudah memiliki 4 unicorn yang menjadi penggerak ekonomi luar biasa: Gojek, Traveloka, Tokopedia dan Bukalapak.
Foto: Promosi start up digital saat ini gencar dilakukan di mana-mana di Indonesia.
Tanpa memperbanyak lagi daftar, saya ingin menunjukkan bahwa potensi orang Indonesia untuk lebih inovatif, kreatif dan produktif, amatlah besar.
Namun, masih banyak masyarakat lainnya yang tertinggal di belakang. Karena itulah, peningkatan akses pendidikan dan kesehatan, yang lebih merata ke seluruh pelosok Indonesia dan seluruh warga bangsa, mutlak perlu digalakkan.
Selain mendidik warga bangsa menjadi pintar, yang jauh lebih penting adalah membangun mentalitas yang tangguh menghadapi segala macam tantangan. Membangun "can do spirit", mentalitas pantang menyerah dan strive for success.
Perlu gerakan yang lebih sistematis membangun mentalitas baru kita. Jargon revolusi mental saja tak cukup. Perlu program revoluasi mental yang sistematis dan massive, yang menjangkau seluruh anak muda masa depan bangsa.
Apalagi dinamika dunia terus berubah. Di tengah tantangan ketidakpastian akhir-akhir ini, kita membutuhkan keahlian yang terus berubah.
Perlu lebih banyak manusia yang mampu menjadi pemecah masalah yang rumit, memiliki daya analitis dan berfikir kritis, serta kreativitas yang tinggi. Intinya, kita butuh orang-orang yang makin pinter dan kreatif.
Tapi pinter saja tidaklah cukup. Kalau cuma pintar secara intelijensia,tapi tidak memiliki kecerdasan emosi dan emphaty, Anda akan dengan mudah mendungu-dungukan orang lain. Kata kakek saya, Anda pinter, tapi ora pener. Nah, bagaimana menurut Anda? (*)
Sumber: Rubrik "Beranda" Bisnis Indonesia edisi 8 Maret 2019 halaman 1, dengan update di beberapa bagian.