Lupakan gaduh soal pribumi yang tengah riuh-rendah, menyusul pidato pelantikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Tak usah ikutan nyinyir, mari bicara ekonomi saja mumpung sedang banyak tanda-tanda baik.
Coba lihat satu per satu. Awal pekan ini, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo dinobatkan sebagai Governor of the Year dari Global Markets untuk kawasan Asia Pasifik Timur.
Tentu, bukan tanpa alasan kalau Pak Agus Marto memperoleh penghargaan itu. Harus diakui, pengelolaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia, selaku bank sentral, beberapa tahun terakhir ini on the right track alias berada pada jalur yang benar.
Stabilitas ekonomi makro dan stabilitas sistem keuangan terjaga dengan baik. Sekadar contoh, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, inflasi September tahun ini lebih rendah dari rata-rata bulan September tiga tahun terakhir. Laju inflasi tahunan sampai September pun cuma 3,72%.
Lalu kurs rupiah juga relatif stabil di kisaran Rp13.300-an per dolar AS, dengan topangan cadangan eksternal yang terus meningkat menjadi US$129,4 miliar. Angka cadangan devisa ini sangat solid karena mampu meng-cover kebutuhan impor dan pembayaran utang selama 8,9 bulan, jauh di atas standard internasional yang mempersyaratkan minimal 3 bulan.
Data BI juga menunjukkan stabilitas sistem keuangan, yang ditunjukkan oleh rasio kecukupan modal perbankan di kisaran 23,1%. Ini pertanda bahwa ketahanan perbankan relatif solid, terlebih didukung rasio kredit bermasalah yang hanya 1,4% (nett).
Dari segi transformasi kebijakan, BI sejak tahun lalu juga sukses meletakkan landasan tingkat bunga relatif rendah, dengan mengubah bunga acuan dari BI Rate menjadi BI Repo Rate, yang saat ini bertahan di level 4,25%. Cita-cita suku bunga kredit single digit pun menjadi kenyataan, seperti yang terus-menerus didorong oleh redaki Bisnis semenjak tahun lalu.
Semua pencapaian itu membuahkan pengakuan internasional, yang kemudian menobatkan Pak Agus menjadi salah satu Gubernur Bank Sentral terbaik tahun ini.
Ini tentu menjadi kabar baik, di tengah berbagai proyeksi, baik dari Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia maupun bank sentral sendiri, bahwa perekonomian domestik telah mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
***
Kabar baik juga terdengar dari kawasan Pasar Baru, di mana BPS berkantor. Coba tengok data neraca perdagangan, yang dilansir lembaga statistik resmi itu, di awal pekan ini.
Data BPS itu mencatat kemajuan penting neraca perdagangan nonmigas. Ekspor nonmigas mencatatkan lonjakan yang signifikan pada periode Januari-September tahun ini, setelah melorot sejak tahun 2013 hingga tahun lalu akibat petaka harga komoditas.
Hingga September tahun ini, ekspor nonmigas mencapai US$111,88 miliar. Angka tersebut sudah melampaui ekspor nonmigas pada periode sama tahun 2013 yang mencapai US$110,2 miliar. Bahkan jauh melampaui pencapaian ekspor non migas pada periode sama tahun 2014 dan 2015, apalagi tahun 2016 lalu yang merosot di bawah US$100 miliar, tepatnya hanya US$94,6 miliar.
Secara agregat pun, angkanya menjanjikan. Setelah surplus perdagangan bulanan terus mengalami kenaikan, akumulasi surplus dagang hingga September tahun ini telah mencapai US$10,87 miliar, hampir dua kali lipat surplus perdagangan pada periode sama tahun lalu yang hanya US$6,4 miliar.
Khusus untuk komoditas nonmigas, bahkan sudah melampaui ekspor tahun 2013. Ini meniupkan angin segar, bahwa aktivitas ekonomi mulai kembali menghasilkan nilai tambah lebih riil. Catatannya adalah ekspor migas yang belum pulih, karena harga minyak yang masih lunglai.
Dengan penuh keyakinan, Kepala BPS Kecuk Suharyanto menyebutkan, data ini akan memberikan efek kejutan pada pengumuman pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga, yang akan dilansir pada akhir bulan ini atau awal November nanti.
Menko Perekonomian Darmin Nasution pun amat yakin, pertumbuhan ekonomi tahun ini bakal menyentuh 5,4%.
Apakah penyumbangnya semata dari kinerja perdagangan saja? Tampaknya tidak.
***
Data perdagangan dari BPS itu mungkin gambaran di atas kertas saja. Namun, saya ingin menggunakan metode proxy dalam melihat aktivitas ekonomi.
Kebetulan, tulisan ini saya buat saat tengah berada di Solo di sela urusan bisnis kemarin. Saat berangkat ke Solo dengan penerbangan Garuda (GA 226) pada Rabu (19/10) sore, kami delay lepas landas lebih dari satu jam. Penyebabnya adalah antrean tinggal landas yang kini makin "mengular".
Saat boarding, sebenarnya jadwal terbang masih on schedule, pukul 16.45 WIB. Namun, saat semua penumpang sudah duduk di kabin, awak kabin mengumunkan akan terjadi delay 30 menit karena kepadatan antrean untuk lepas landas. Disebutkan, ada sedikitnya 10 pesawat antre untuk take-off alias lepas landas.
Menurut crew kabin yang saya tanya, antrean seperti itu hampir tiap hari terjadi, terutama sore dan pagi hari.
Pengalaman serupa sebenarnya kerap kita alami saat hendak landing, pesawat muter-muter dulu di angkasa Cengkareng, kadang sampai 30 menit. Namun untuk take-off, agaknya antrean makin memanjang. Tiga tahun lalu, antrean untuk take-off biasanya cuma 5 atau 6 pesawat pada sore hari.
Dan faktanya, penerbangan kami delay lebih dari 1 jam dan baru terbang jam 18.08. Saya membayangkan, antrean yang sama terjadi di angkasa, karena banyak pesawat yang menunggu giliran mendarat.
Coba deh iseng-iseng lihat aplikasi gratisan yang dapat memperlihatkan lalulintas udara seperti flightradar, langit Jakarta penuh dengan pesawat. Apalagi kalau sore hari.
Apa artinya itu semua? Bukankah itu kenaikan pergerakan manusia dan barang? Its about economy, right?
Di Jakarta, kemacetan ternyata tidak hanya di jalan raya, melainkan juga terjadi di udara. Ini adalah kesempatan, pembangunan runway ketiga di bandara Soekarno-Hatta tampaknya butuh percepatan.
Sebetulnya saya penasaran ingin tahu lebih dalam, seberapa besar sih, data penumpang hingga akhir bulan Oktober ini. Namun, data agregat keseluruhan belum saya temukan.
Dalam obrolan ringan dengan Bandoe Widiarto, Kepala Perwakilan Bank Indonesia di Solo, saya memperoleh perspektif yang relevan. Mengutip data yang dimilikinya, penumpang Garuda dari Solo ke berbagai kota naik 77% sepanjang tahun ini.
Angkutan kargo juga naik 24%. Lalu wisatawan yang pesan melalui agen travel di Solo --untuk pariwisata--naik hingga 90%. Saya rasa, angka-angka itu, meski baru sepintas, tampak klop dengan frekuensi penerbangan yang kian bertambah tadi.
***
Di pihak yang lain, saya bertemu dengan sejumlah praktisi ekonomi digital, mulai dari pengelola platform e-commerce yang menjalankan market-place online di Indonesia hingga penyedia infrastrukturnya. Mereka umumnya bilang, roda bisnis digital berputar kencang.
Sekadar contoh, pekan lalu saya bertemu dengan manajemen iForte, perusahaan infrastruktur dan solusi jaringan telekomomunikasi.
Disebutkan, pertumbuhan sales perusahaan itu hampir berlipat dua setiap tahun. Lalu pertumbuhan pengguna juga naik dua kali lipat setiap tahun.
Perusahaan itu ternyata tidak sendirian. Sejumlah perusahaan yang memiliki bisnis terkait dengan ekonomi digital juga membukukan rekor mengesankan. Artinya, aktivitas bisnis berbasis digital memang tumbuh pesat.
Perkembangan itu telah men-disrupt bisnis konvensional mulai dari bisnis informasi, ritel, hotel, transportasi dan banyak sektor bisnis yang lain.
Rupanya, ada pergeseran sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dari aktivitas ekonomi dan bisnis konvensional ke digital. Hanya saja, sejauh ini BPS tampaknya belum memiliki instrumen yang mampu memotret pergeseran tersebut dengan lebih tepat dan akurat.
Para ekonom di masa lalu menggunakan banyak proxy untuk menghitung aktivitas ekonomi. Salah satu contoh adalah penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Apabila penerimaan PPN naik, artinya aktivitas ekonomi naik, begitu pula sebaliknya.
Namun, di era ekonomi digital yang borderless seperti sekarang ini, di mana produsen dari luar tak terjangkau pajak, pelaku perdagangan juga berbasis di luar negeri yang juga tak terjangkau pajak, maka proxy penerimaan PPN tersebut sudah tidak lagi legitimate.
Lantas apakah komunikasi data dan atau bandhwidth usage kini dapat dipakai sebagai salah satu proxy baru untuk melihat aktivitas ekonomi digital? Entahlah.
***
Saya kok sampai pada satu kesimpulan, di tengah puber pertama ekonomi digital, ternyata aktivitas ekonomi konvensional juga masih menunjukkan kegairahan yang lumayan.
Maka, saya hanya ingin berandai-andai. Apabila dua kondisi itu digabungkan, tampaknya ekonomi menunjukkan tanda-tanda sedang memasuki era bullish.
Mungkin saja skenario berandai-andai tadi meleset. Namun, baca saja tanda-tanda alam. Udara di Jakarta tambah macet, jalanan pun tambah macet belakangan ini.
Saya ingat jargon yang sering dipakai Pak JK, panggilan singkat Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kalau jalan macet, anggap itu berkah, karena artinya ekonomi jalan.
Asal tahu, hampir setiap hari, jalan tol memasuki Jakarta dari arah tempat tinggal saya di Karawaci, Tangerang, belakangan ini semakin tambah macet saja. Begitu pun kalau pulang malam hari, selalu bersaing dengan truk-truk besar ke pelabuhan Merak menuju Sumatra.
Lebih macet lagi kalau jalan di akhir pekan menuju daerah-daerah tujuan wisata. Banyak orang pelesiran. Mungkin benar kata Pak JK, itu tanda-tanda ekonomi jalan. Nah, bagaimana menurut Anda? (*)