Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia telah mengantongi restu dari the Convention on International Trade in Endangered Species of Fauna and Flora (CITES) untuk mengekspor 35.000 ekor ikan napoleon.
Persetujuan itu akan membantu mengurangi penumpukan stok di beberapa sentra pembesaran jenis ikan yang masuk dalam Appendiks II CITES, seperti di Kepulauan Anambas dan Kepulauan Natuna.
Sejak 2015, Indonesia hanya mendapatkan kuota ekspor untuk 5.000 ekor. Padahal, menurut hasil survei Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang pada 2016, jumlah ikan napoleon di keramba pembesaran (ranching) di Natuna saja mencapai 115.409 ekor. Dari jumlah itu, sebanyak 54.225 ekor siap diekspor pada 2016 dan 29.982 ekor siap diekspor pada 2017.
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Maritim Arif Havas Oegroseno menjelaskan izin dari CITES diberikan setelah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan survei dan riset pada tahun lalu. Berdasarkan riset itu, LIPI merekomendasikan ekspor bisa ditambah hingga menjadi 35.000 ekor.
"Lalu, kami lobi ke lembaga internasional (CITES), sudah oke. KLHK [Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan] sudah oke. Sekarang tinggal proses teknis ekspor," katanya, Rabu (10/1/2018).
Proses teknis yang dimaksud adalah Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan hidup (SIKPI) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Havas menambahkan, untuk menjamin keberlanjutan, ikan napoleon yang boleh diekspor adalah yang berukuran 1 kg berdasarkan rekomendasi KLHK selaku management authority. "Tidak boleh di bawah 1kg, tidak boleh di atas 1 kg," tegasnya.
Menurut Havas, Indonesia masih beruntung dibandingkan dengan Fiji atau beberapa negara Amerika Tengah yang sudah mengalami kepunahan ikan napoleon.
Sebelumnya, Menko Maritim Luhut B. Pandjaitan dalam kesempatan berbeda mengatakan usaha penangkaran ikan harus berjalan agar produksi dan ekspor perikanan meningkat. Menurutnya, Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan untuk menarik seluruh 'investasi yang membawa kebaikan' ke dalam negeri.
Untuk itu, Presiden menetapkan tiga syarat. Pertama, berteknologi ramah lingkungan.
Kedua, boleh menggunakan tenaga kerja asing, tetapi hanya selama 3-4 tahun. Selama itu, perusahaan harus mendidik tenaga kerja Indonesia sehingga mereka dapat mengisi kebutuhan pegawai setelah tahun keempat.
Ketiga, investasi harus dari hulu ke hilir sehingga Indonesia dapat menikmati nilai tambah dan transfer teknologi.
"Perikanan sama saja. Kalau mau penangkaran di sini, monggo," ujar Luhut.