Bisnis.com, JAKARTA—Produsen pupuk menyatakan pola perdagangan gas bertingkat akan menambah beban biaya.
Dadang Heru Kodri, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), menuturkan dari awal industri pupuk berdiri sampai saat ini, industri mendapatkan gas dengan perjanjian dengan produsen hulu. Perdagangan bertingkat justru terjadi karena perubahan tata kelola di produsen sehingga industri harus mengikuti.
"Sejak awal industri pupuk berdiri sampai saat ini, kami mendapatkan gas langsung berdasarkan perjanjian dengan produsen gas di hulu. Namun, sejak pertamina ada hulu dan Pertagas jadi sedikit berbeda. Perjanjian dilakukan dengan kedua institusi tersebut yaitu besaran jumlah gas dengan Pertamina Hulu dan penyaluran melalui pipa dengan Pertagas," kata Dadang, Rabu (11/4/2018).
Sementara di luar Pertamina, pabrik pupuk langsung mendapatkan ke produsen gas. Dadang menyatakan saat ini semangat dari pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo adalah penyederhanaan aturan. Ia berharap harga gas semakin kompetitif dan proses pengadaan gas dapat lebih dipangkas.
Hal senada juga disampaikan oleh Achmad Safiun, Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB). Pada 2016, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Perpres No.40/2016 Penetapan Harga Gas Bumi. Dalam beleid itu presiden memerintahkan kepada kementerian teknis untuk menetapkan harga gas maksimal US$6 MMBtu jika hasil perhitungan tidak menemukan skala keekonomian.
Industri yang dapat menggunakan harga ketetapan ini adalah industri pupuk, industri petrokimia, industri oleochemical, industri baja, industri keramik, industri kaca, dan industri sarung tangan.
Safiun menyampaikan sembari menunggu revisi undang-undang migas baru rampung, maka Perpres ini harus dikawal hingga terealisasi.