Bisnis.com, JAKARTA -- Empat tahun lalu, tepatnya pada April 2014, saya menemui beberapa stakeholders pergulaan Tanah Air yang tengah dirundung suasana tegang. Kala itu, mereka meneropong kekhawatiran bahwa dalam 5 tahun ke depan, gula impor bakal kian menjajah Indonesia.
Direktur Ekskutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) saat itu, Tito Pranolo, mengungkapkan Indonesia berpeluang besar menjadi importir gula terbesar kedua di dunia (sejajar dengan Amerika Serikat) setelah Uni Eropa. Apalagi, target swasembada gula yang dicanangkan sejak 2004 selalu gagal.
Belum sampai setengah dasawarsa berselang setelah pertemuan itu, sebuah data dari Statista mengungkapkan fakta bahwa Indonesia menduduki posisi terpuncak (alih-alih kedua) sebagai negara pengimpor gula terbesar dari sisi nilai pada 2017.
Artinya, besar kemungkinan gula impor menjajah pasar nasional terealisasi 2 tahun lebih awal dari prediksi. Lantas, apa saja yang dilakukan pemerintah selama 4 tahun terakhir, sampai-sampai keran impor gula kita blong?
Data Kementerian Perdagangan membuktikan, dari tahun ke tahun, jatah impor gula mentah (GM) Indonesia semakin membengkak. Dari 3,1 juta ton pada 2014 menjadi 3,6 juta ton tahun ini. (Lihat tabel).
Itu baru perhitungan impor GM untuk dijadikan gula kristal rafinasi (GKR), belum termasuk impor GM untuk dijadikan gula kristal putih (GKP) yang beberapa tahun belakangan mulai dilancarkan setelah sebelumnya RI tabu melakukannya. Tahun ini saja, impor GM untuk GKP dibuka sejumlah 1,1 juta ton.
Jika ditelaah, Indonesia memiliki 62 pabrik gula (PG) senior milik negara dan swasta yang beroperasi sejak era kolonial Belanda. Rerata kapasitas giling masing-masing PG hanya 3.000 TCD (ton cane per day). Sebagai perbandingan, pada 2014 saja, kapasitas PG Thailand sudah 13.000 TCD.
Kekhawatiran soal tidak kompetitifnya produksi gula nasional juga sudah diteriakkan bahkan sebelum Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dimulai pada 2015. Kala itu, Indonesia dituntut untuk merevitalisasi jajaran PG senior agar mampu mengejar kompetisi dengan Thailand.
Setidaknya, kapasitas PG di Indonesia harus dinaikkan menjadi 6.000—7.000 TCD. Untuk itu saja, dibutuhkan waktu sekitar 5—7 tahun, asalkan konsisten. Selain itu, revitalisasi tidak bisa sepenuhnya diserahkan ke pabrik, tetapi harus dengan intervensi pemerintah.
“Nanti ketika MEA dibuka, komoditas yang paling sensitif adalah beras dan gula. Kalau [revitalisasi PG] saja gagal, 5 tahun ke depan Indonesia bisa-bisa menjadi importir gula terbesar kedua di dunia,” tegas Tito, 4 tahun lalu.
Maka, begitu Joko Widodo naik tahta ke kursi presiden, salah satu prioritasnya adalah mengucurkan penyertaan modal negara (PMN) untuk merevitalisasi PG milik jajaran PT Perkebunan Nusantara, khususnya yang berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Tak kurang dari Rp3,5 triliun diguyur pemerintah untuk merevitalisasi sekitar 50 PG milik perusahaan pelat merah. Namun, toh, hingga saat ini belum tampak hasil nyata dari pembenahan pabrik itu dan swasembada gula masih jauh panggang dari api.
Salah satu dilema untuk menggapai target swasembada gula adalah kian berkurangnya luas areal perkebunan tebu di Tanah Air. Kementerian Pertanian memaparkan, perkebunan tebu di Indonesia masih tersentral di Jawa.
Pada 2013, luas arealnya adalah 470.100 hektare, pada 2014 turun menjadi 447.000 hektare, 2015 naik tipis menjadi 454.171 hektare, dan setahun setelahnya kembali susut menjadi 445.520 hektare.
Tahun lalu, luas perkebunan tebu nasional adalah 453.456 hektare, terdiri dari 118.902 hektare milik swasta, 67.229 milik pemerintah, dan 267.325 milik petani rakyat. Sebagai pembanding, areal perkebunan tebu di Thailand sudah mencapai lebih dari 1 juta hektare.
Permasalahannya, selama ini pencarian lahan perkebunan tebu selalu dilepaskan sepenuhnya ke pihak swasta. Padahal, mengutip data AGI, investasi untuk 1 PG baru membutuhkan lahan sekitar 25.000 hektare.
Dengan demikian, untuk mencapai swasembada gula, dibutuhkan setidaknya 14 PG baru dan menambah luas lahan tebu minimal 350.000 hektare, guna mencukupi kebutuhan konsumsi nasional gula/kapita/pekan sejumlah 1,35 ons menurut acuan Badan Pusat Statistik (BPS).
Untuk itu pun, pemerintah harus membantu para investor PG dalam berburu lahan yang mencukupi untuk perkebunan tebu.
BUKA INVESTASI
Sebenarnya pemerintah tidak tutup mata dan telinga di tengah pahitnya dunia pergulaan nasional. Buktinya, gerbang investasi PG baru mulai dibuka untuk menopang rencana pencapaian swasembada gula yang terus-menerus gagal selama 14 tahun.
Kabar gembiranya, Kementan baru saja mengumumkan sudah ada 17 investor yang terpikat menggelontor kapitalnya untuk membangun PG. Nilainya ditaksir mencapai total Rp41,44 triliun.
Bahkan, 8 dari 17 calon investor PG tersebut sudah deal dengan pemerintah. Mereka rencananya beroperasi di Dompu, NTB; Sumba Timur, NTT; Lamongan, Banyuwangi, dan Blitar, Jatim; Lampung dan Ogan Komering, Sumsel; serta dan Blora, Jateng.
Sisanya, masih dalam proses perizinan dan akan membidik pembukaan lahan baru di wilayah timur seperti Flores, NTT serta Seram Timur dan Saumlaki, Maluku. Besar harapannya, calon-calon PG baru itu menambah produksi gula sejumlah 2,35 juta ton/tahun dengan kebutuhan lahan 604.000 hektare.
Terbaru, korporasi India, Hermes Distillery, sepakat membangun PG terintegrasi senilai Rp1,79 triliun di Seram Barat. Kapasitasnya 10.000 TCD dengan rendemen minimal 8,5% dan produksi gula 153.000 ton/tahun. (Bisnis, edisi 11/7)
Ramainya peminat investasi PG di Tanah Air membawa tantangan tersendiri. Dikarenakan lahan tebu tidak bisa serta merta dibuka dan langsung berproduksi, untuk sementara pemerintah membolehkah jajaran PG baru tersebut mengimpor bahan baku gula mentah.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan menjelaskan alasan dibukanya keran impor GM untuk GKP sejumlah 1,1 juta ton tahun ini sebenarnya adalah sebagai insentif bagi pabrik-pabrik baru tersebut untuk memulai produksi.
“Jumlah impor gula mentah yang diberikan tentunya memperhatikan kesanggupan masing-masing pabrik gula, serta memperhatikan potensi pendistribusian GKP hasil pengolahan [PG] tersebut di wilayah masing-masing,” katanya.
Hal itu diamini oleh Deputi Bidang Pangan dan Hortikultura Kemenko Perekonomian Muzdalifah, yang mengatakan pertimbangan impor GM untuk GKP adalah kebutuhan gula konsumsi nasional sejumlah 2,9 juta ton/tahun di tengah produksi petani yang hanya 2,1 juta ton/tahun.
“Ini hanya kebijakan [untuk] memprioritaskan pabrik gula baru, sesuai peraturan [Kementerian Perindustrian] yaitu memberikan insentif bahan baku untuk pabrik gula baru.”
Maka, terjawab sudah mengapa impor gula Indonesia sangat membengkak tahun ini. Total 4,7 juta ton pembelian gula mentah diizinkan, teridiri dari 3,6 juta ton untuk kebutuhan industri makanan dan minuman (mamin) dan 1,1 juta ton untuk kebutuhan konsumsi.
Hingga seluruh PG baru tersebut beroperasi sepenuhnya dan masalah lahan tebu teratasi, naga-naganya impor gula Indonesia bakal terus menggelembung hingga beberapa tahun ke depan.
Namun, jika semuanya berjalan lancar, mudah-mudahan impor gula akan mulai mengempis pada 2019 saat swasembada gula konsumsi (GKP) mulai diseriusi dan 2025 saat swasembada gula industri (GKR) niscaya tercapai. Dengan catatan, pemerintah benar-benar membantu para investor PG baru mencari lahan tebu.
Kembali lagi pada proyeksi stakeholders pergulaan 4 tahun lalu, memang saat ini kita ‘dijajah’ gula impor lebih dini dari proyeksi awal. Namun, bisa jadi, ini adalah proses untuk menuju kemerdekaan gula. Syukur-syukur kalau kita bisa mengulang romantisme sebagai eksportir gula terbesar dunia seperti era 1930-an.
Negara Pengimpor Gula Terbesar di Dunia pada 2017*
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Negara Nilai impor gula (miliar US$) Porsi dari total impor gula global (%)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Indonesia 2,30 7,8
AS 1,70 5,7
Bangladesh 1,10 3,7
China 1,08 3,6
UEA 1,00 3,4
Algeria 0,98 3,3
Malaysia 0,91 3,1
Italia 0,90 3,0
Korsel 0,85 2,8
Mesir 0,79 2,7
India 0,77 2,6
Arab Saudi 0,60 2,0
Kenya 0,57 1,9
Irak 0,55 1,9
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*) Ket: Kelimabelas negara tersebut mengimpor 49,7% dari total nilai impor gula dunia pada 2017. Pertumbuhan impor tertinggi sejak 2013 dicetak oleh Mesir (345,2%), Kenya (226,8%), India (107,8%), dan Bangladesh (67,7%). Penurunan impor gula terdalam sejak 2013 dicetak oleh China (-47,9%), Spanyol (-36,9%), Arab Saudi (-33,1%), dan Italia (-33%).
Sumber: Statista, diolah
Impor Gula Mentah RI untuk Gula Kristal Rafinasi*
------------------------------------------------------------------------------------------------
Tahun Persetujuan Impor (juta ton) Realisasi Impor (juta ton)
------------------------------------------------------------------------------------------------
2015 3,10 3,08
2016 3,30 3,22
2017 3,43 2,45
2018 3,60 1,80**
------------------------------------------------------------------------------------------------
*) Ket: tidak termasuk impor gula mentah untuk dijadikan gula kristal putih (GKP)
**) Ket: estimasi realisasi pada semester I/2018, sesuai izin impor yang diberikan Kementerian Perdagangan pada periode tersebut
Sumber: diolah