Bisnis.com, JAKARTA – Pengembangan gedung pencakar langit semata-mata bukan hanya untuk mendapatkan predikat bergengsi.
Managing Partner Strategic Advisory Group Coldwell Banker Commercial Indonesia Tommy H. Bastamy mengatakan pengembangan gedung pencakar langit disesuaikan dengan kelayakan bisnis dari pengembangan, sehingga pengembang bisa mengoptimalkan koefisien lantai bangunan (KLB) untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
KLB atau Koefisian Lantai Bangunan adalah angka persentase perbandingan antara jumlah seluruh luas lantai bangunan yang dapat dibangun dengan luas lahan yang tersedia. Nilai KLB akan menentukan berapa luas lantai keseluruhan bangunan yang diperbolehkan untuk dibangun. Bisa dikatakan bahwa KLB adalah batas aman maksimal jumlah lantai bangunan yang diperbolehkan.
“Jika luas lahan per meter persegi lebih kecil dibandingkan dengan luas ruang per meter persegi maka akan semakin efektif, jadi gedung tinggi tidak semata mata hanya untuk prestige dan lain-lain, tetapi untuk aspek bisnis juga,” ujar Tommy saat dihubungi Bisnis, Rabu (18/7).
Selain itu, harga lahan di pusat Jakarta yang semakin mahal juga menjadi alasan, sehingga ketika pengembang tidak mengoptimalkan ketinggian dan KLB lahan tersebut maka pengembangan tersebut kehilangan nilai lebih dari lahan tersebut.
Tommy mengatakan setidaknya terdapat dua faktor utama pengembangan gedung pencakar langit, yaitu aspek bisnis dan mendapatkan nilai keunikan sehingga menciptakan eksposur yang tinggi.
“Dengan membangun bangunan yang ikonik lalu mendapatkan eksposur yang banyak, sehingga image masyarakat terhadap pengembangan juga akan semakin tinggi,” paparnya.
Dalam pengembangan gedung pencakar langit ada beberapa hal yang harus diperhatikan selain nilai KLB, yaitu parameter pembangunan daerah yang terdiri dari antara lain Koefisien Dasar Bangunan dan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) yang setiap lahan memiliki nilai yang berbeda.
Tommy juga mengatakan pengembangan gedung pencakar langit harus memperhatikan dan mengakomodir transportasi dan sirkulasi vertikal yang memadai.
“Artinya mulai dari zoning lift, kecepatan, dan keamanan harus diperhatikan dan tetap terjaga,” tuturnya.
Demi keselamatan kerja di bangunan tinggi, membuat Kementerian Ketenagakerjaan menghimbau para operator gedung tinggi untuk melengkapinya dengan lisensi standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Sebagai sarana dan infrastruktur pendukung aktivitas manusia, gedung-gedung tinggi lumrah dilengkapi dengan fasilitas elevator (lift) dan/atau eskalator. Oleh karena itu, perlu adanya tenaga ahli yang mengoperasionalkan fasilitas-fasilitas tersebut.
Terkait K3 Konstruksi, Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR, Anita Firmanti juga menekankan beberapa kecelakaan kerja maupun kegagalan bangunan beberapa waktu lalu jangan sampai terulang lagi di masa mendatang.
Mengingat hal itu dapat menghambat berjalannya pembangunan Infrastruktur, yang pada akhirnya merugikan semua pihak, baik kerugian waktu dan pengeluaran dari pelaksana, kerugian dari sisi pekerja karena luka-luka atau meninggal, dan tentunya masyarakat.