Bisnis.com, KARACHI - Pelaku usaha sawit dan pemerintah Indonesia akan serius mencermati perkembangan di Pakistan seiring dengan meningkatnya hubungan dagang dan peluang negara di Asia Selatan itu sebagai hub untuk menembus pasar yang lebih luas.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan undangan investasi di sektor pengolahan sawit di Pakistan akan berproses mengingat hubungan dagang antara pengusaha dari kedua negara sudah berlangsung cukup lama.
Menurutnya, pengusaha juga akan mencermati situasi kondusivitas investasi di Pakistan terutama setelah negara itu memiliki pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Imran Khan.
"Pakistan terkesan memberi harapan yang lebih baik ke depan, jika keamanan dan politik stabil, maka ekonomi akan mengikuti," ujar Joko, di sela-sela Conference & Exhibition on Indonesia Palm Oil, Kamis (6/9/2018).
Menurut Joko, harapan itu ada mempertimbangkan pasar penduduk Pakistan yang besar, sedangkan konsumsi per kapita mereka masih rendah.
Pangsa pasar produk sawit RI yang sebesar 80% di Pakistan, kata Joko, bisa ditingkatkan dibandingkan dengan produk pesaing seperti minyak kedelai dan nabati lainnya.
Baca Juga
Setidaknya, RI harus dapat mempertahankan pangsa karena produk sawit RI pernah punya pengalaman ada di posisi menguasai pangsa pasar 20%, sedangkan produk pesaing menguasai 80% pada periode 2010-2012 di negara itu.
Kondisi itu kemudian berbalik. "Untuk itulah maka kita perlu upgrade preferential trade agreement [PTA] ke free trade agreement [FTA]. Kita harus serius dalam memperkuat hubungan bilateral," tegas Joko.
Duta Besar Indonesia untuk Pakistan Iwan Suyudhie Amri mengatakan dengan terbangunnya komunikasi yang intens, dan terciptanya saling pengertian RI dengan Pakistan, maka harapannya kerja sama bisa berkesinambungan dari hanya sebatas perdagangan, ke investasi pengolahan dan produk turunan minyak sawit.
Ini karena posisi Pakistan yang strategis sebagai gerbang ke Asia Tengah yang mencakup enam negara kemudian ke Timur Tengah, lalu juga menjadi hub ke China dari pelabuhan Gwadar yang memiliki akses langsung ke Xinjiang.
"Jadi kalau ada investor RI yang membangun pengolahan dan derivatif sawit di Pakistan maka diharapkan ekspor RI juga makin bisa berkembang."
Terlepas dari krisis dan kondisi ekonomi Pakistan yang belum pernah tumbuh, Iwan masih meyakini peluang di Pakistan, seiring optimisme ahli ekonomi dunia yang memprediksi Pakistan akan tumbuh menjadi negara dengan ekonomi di posisi 16 besar dunia pada 2030. Pada saat itu ekonomi RI diprediksi di posisi lima besar.
Adapun pertumbuhan ekonomi Pakistan sebelum pemerintahan baru terbentuk mencapai 5,1%. Dengan tantangan stabilitas politik dan keamanan, Pakistan menjadi salah satu negara yang perlu diperhatikan karena menjadi pasar perdagangan RI dengan neraca surplus.
Menurut Iwan, total perdagangan RI dan Pakistan dalam 4 tahun terakhir menyentuh US$2,6 miliar dan RI surplus US$2,1 miliar dan bahkan sudah hampir US$2,2 miliar.
Mengenai tantangan hubungan dagang kedua negara, Iwan menilai agar dapat berkelanjutan Pakistan meminta pengertian dari pihak RI untuk juga bisa menyerap produk unggulan mereka.
Pemerintah RI dalam proses meratifikasi penurunan tarif 20 item tambahan di antaranya untuk produk tekstil dan buah-buahan Pakistan. "20 item tambahan tersebut masih dalam proses memenuhi ketentuan nasional masing-masing. Upaya agar hubungan dagang berkesinambungan untuk itu kita juga harus sensitif dengan concern mereka."
Terkait undangan investasi dari Pakistan, Iwan menyebut, Menteri Federal urusan Maritim Pakistan sudah menjanjikan bahwa mereka akan membantu penuh dan memfasilitasi jika ada investor Indonesia yang akan menanam modal di Pelabuhan Qasim ataupun Pelabuhan Gwadar, di Pakistan. Sementara itu di pihak Indonesia, sejauh ini sudah ada studi tahap awal untuk menembus pasar Asia Tengah dan Timur Tengah.