Ide Agus Rahardjo ini boleh juga: "Ketika anggaran pendapatan dan belanja negara defisit setiap tahun, mengapa kita tidak mencoba menggali potensi penerimaan yang hilang".
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut bercerita mengenai begitu banyak uang bisa dihimpun bila praktik bernegara dijalankan dengan benar dan transparan.
Dia lalu bercerita tentang potensi penerimaan yang hilang dari bisnis pertambangan batu bara. Suatu hari, di Samarinda, Kalimantan Timur, Agus sedang menyusuri Sungai Mahakam ketika menemukan begitu banyak dermaga kecil (jetty) tempat bongkar muat batu bara.
Berjalan hingga ke muara, berbaris antre kapal-kapal kecil mengalihkan muatan ke kapal raksasa untuk ekspor.
“Apakah pernah ditelusuri batu bara yang dikirim melalui jetty di sepanjang Mahakam itu diperoleh secara legal, apakah di kapal-kapal besar selalu ada petugas bea cukai yang mencatat berapa kekayaan kita yang diekspor dan dibayarkan kepada negara?” tuturnya ketika mengelar "Editor’s Meeting" antara pimpinan KPK dan pimpinan media massa di Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Bagi Agus dan KPK, fokus pemberantasan korupsi sebaiknya semakin diperluas menjadi tidak sekadar menyelamatkan anggaran belanja negara, tetapi juga anggaran pendapatan negara. Dengan menarik persoalan ke hulu, seperti dengan mengamati potensi penerimaan yang hilang, maka semestinya uang negara akan semakin besar untuk pembangunan.
Segendang sepenarian, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief merujuk betapa besar potensi penerimaan DKI Jakarta dari media reklame luar ruang. Dia memperoleh informasi bahwa ada 166 titik papan reklame tidak terdaftar di sepanjang koridor Sudirman-Thamrin.
Padahal, tarif pemasangan papan reklame di jalur protokol luar biasa mahal. Laode menunjuk sebuah papan reklame di seberang kantor KPK di Jalan Rasuna Said, Jakarta yang bertarif Rp300 juta hanya untuk durasi pemasangan satu bulan!
Bila merujuk pada persepsi selama ini bahwa korupsi menyangkut kerugian keuangan negara, maka model solusi menyelamatkan potensi penerimaan negara tak cukup relevan. Padahal, pemberantasan korupsi semestinya menyangkut penyelamatan perekonomian negara, mengandung dimensi yang lebih luas.
Saya membayangkan betapa sejahteranya negeri ini, bila pada satu waktu, tidak hanya belanja pemerintah pusat dan daerah yang bisa diselamatkan dari rongrongan korupsi, tetapi juga praktik bisnis transparan dan akuntabel. Sehingga, negara mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari pengelolaan kekayaan.
Memperluas dimensi pemberantasan korupsi memang sedang menjadi agenda Agus dalam memimpin KPK. Narasi mengenai potensi penerimaan negara yang hilang, karena belum disentuh kegiatan pemberantasan korupsi, bisa menjadi bahan renungan.
Sebagai contoh, undang-undang yang mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi kita masih jauh dari Konvensi Antikorupsi PBB yang oleh Indonesia telah diratifikasi sejak 2006. Dari kajian Konvensi Antikorupsi PBB (The United Nations Convention against Corruption/UNCAC) putaran I 2010-2012, Indonesia baru menyelesaikan 8 dari 32 rekomendasi yang telah diberikan.
Semua ini berhulu dari bangunan undang-undang korupsi yang hanya merujuk kerugian keuangan negara. Padahal, dengan mengubah dimensi korupsi menjadi kerugian perekonomian negara, maka lebih banyak hal yang bisa kita lakukan dan lebih banyak uang yang bisa diselamatkan.
Itulah mengapa Agus berusaha mendesak lahirnya sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) akibat kegentingan ini. Dengan demikian, pemberantasan korupsi bisa diperluas melalui penindakan di sektor swasta, penindakan perdagangan pengaruh, penambahan kekayaan dengan tidak wajar, dan pengembalian aset hasil kejahatan.
Tentu upaya ini tidak akan mudah kecuali KPK bisa meyakinkan pemerintahan Presiden Joko Widodo di ujung periode kekuasaannya, bahwa ada kegentingan yang memaksa keluarnya Perppu. KPK juga pasti berhitung, mengusulkan secara langsung amandemen Undang Undang Tipikor kepada DPR cukup berisiko.
Alih-alih bisa memperkuat pemberantasan korupsi, langkah ini bisa menjadi sebaliknya. Apalagi kita semua tahu, beberapa kali parlemen berusaha mengajukan amendemen, tetapi urung oleh penolakan publik karena kekhawatiran peran KPK dalam pemberantasan korupsi akan diperlemah.
***
Ide menyelamatkan potensi keuangan negara yang hilang tentu tak semata-mata terkait dengan penindakan kejahatan korupsi. Namun, memperluas dimensi pemberantasan korupsi menjadi lebih luas tentu merupakan sebuah ikhtiar yang patut didukung, apalagi bila berujung pada penambahan penerimaan negara.
Dengan APBN saat ini yang hanya Rp2.400 triliun, rasanya Indonesia masih memerlukan dana yang lebih besar untuk pembangunan, menyediakan jalan, pelabuhan, bandar udara, fasilitas kesehatan, pendidikan berkualitas, dan akses listrik untuk semua warga negara. Jelas, terobosan tidak melulu tentang pemberantasan korupsi.
Menyelamatkan penerimaan negara bisa juga ditempuh dengan membangun kesadaran membayar pajak. Namun, hukum besi perpajakan menyebutkan bahwa semua orang akan berusahaha menghindari kewajiban itu.
Mengutip Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) saat ini masih di bawah 15%. Capaian tersebut tertinggal dari negara-negara Asia Tenggara lainnya yang rata-rata sudah di atas 16%.
Selama lima tahun terakhir, rasio pajak terhadap PDB Indonesia memang berkutat antara 10%-12%. Ini berarti masih banyak kerja keras yang diperlukan untuk mendongkrak kesadaran membayar pajak hingga penerimaan mencukupi kebutuhan belanja negara.
Bila pendapatan dalam negeri cukup, tak perlu lagi negara setiap tahun menambah utang. Tahun ini saja, pemerintah hendak merilis obligasi sebesar Rp325 triliun, di mana Rp320 triliun di antaranya sudah terealisasi hingga akhir Oktober.
Menurut Menkeu, secara statistik ada ketimpangan antara Wajib Pajak (WP) yang mendaftarkan dirinya dan telah membayarkan pajak, dengan WP yang tidak sama sekali membayarkan atau mendaftarkan dirinya. Ini merefleksikan ketidakadilan di mana ada warga negara yang sama sekali tidak berkontribusi pada negara, tetapi mendapatkan fasilitas (pembangunan) dari negara.
Bayangkan, dari tiap 10 orang warga negara baru 1 yang terdaftar sebagai WP. Dari tiap 20 orang WP, hanya 1 orang yang membayar dan dari tiap 10 orang WP, hanya 5 orang yang menyampaikan Surat Pemberitahuan pajak (SPT).
Dengan fakta ini, wajar bila pembayar pajak patuh bertanya, kenapa harus terus patuh bila warga negara lain bisa mangkir dan tidak menanggung konsekuensi apapun?
Potensi penerimaan negara hilang karena perilaku semacam ini. Dalam hitungan Sri Mulyani, bila kepatuhan warga negara membayar pajak tinggi, maka ada potensi tambahan penerimaan negara sebesar Rp750 triliun.
Hitungan tersebut didasarkan pada asumsi PDB saat ini sekitar Rp14.500 triliun dengan penerimaan masih Rp1.500 triliun dan rasio pajak dinaikkan hampir sama dengan negara tetangga sebesar 16% dari PDB.
Di atas kertas, dengan tambahan pendapatan sebesar itu, Indonesia tak harus mengalami defisit APBN hingga 2% setiap tahunnya. Kita tak memerlukan utang baru lagi, bahkan bisa menambah anggaran pembangunan infrastruktur hingga dua kali lipat dari sekarang menjadi Rp800 triliun!
Tentu hitung-hitungan itu bukanlah mimpi di siang bolong, tetapi tak berarti mudah untuk dicapai. Kita memerlukan sebuah rekayasa struktural untuk mewujudkan peningkatan penerimaan negara melalui dua jalan, menutup celah hilangnya potensi penerimaan negara dan menggenjot penerimaan negara.
Memulai dua cara itu adalah sebuah keniscayaan. Bila cara pertama lahir dari sebuah itensitas pemberantasan kejahatan korupsi, saya kira dukungan publik tak perlu diragukan lagi.
Sejauh ini, Agus Rahardjo dan KPK memiliki modal tersebut. Demikian juga Sri Mulyani bila ingin menambah uang pajak.