Bisnis.com, JAKARTA--Kawasan ekonomi halal dipercaya dapat menjadi salah satu pendongkrak ekspor produk makanan minuman, kosmetik, dan obat-obatan Indonesia.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI Lukmanul Hakim mengatakan program kawasan ekonomi halal bukan sekadar ditujukan untuk mendukung pemberlakuan jaminan produk halal pada 17 Oktober 2019, tetapi juga memberi dorongan beberapa sektor untuk dapat lebih cepat melakukan penetrasi pasar di negara berpenduduk muslim.
"Jika hanya ingin mendukung UU jaminan produk halal, kita sudah punya sertifikasi. Kawasan ekonomi halal ini ditujukan untuk mendobrak pasar internasional, dan meningkatkan ekspor Indoensia," katanya kepada Bisnis.com, Selasa (2/1/2019).
Dia mengatakan, beberapa negara mitra masih banyak yang meragukan kehalalan produk Indononesia. Kawasan ekonomi halal akan menjadi bukti bagi negara mitra tentang keseriusan Indonesia memproduksi produk halal.
"Saat ini masih ada yang meragukan, tetapi dengan kawasan ekonomi halal ini keraguan mereka tersebut akan hilang," ucapnya.
Selain itu, Lukman mengatakan pembangunan kawasan khusus halal akan memberi efesiensi kepada pelaku usaha. Pelaku usaha tidak perlu lagi harus datang ke kota untuk melapor, karena kantor perwakilan dan laboratorium akan tersedia di kawasan.
Baca Juga
Dalam catatan Bisnis, kriteria kawasan industri halal Kemeneterian Perindustrian harus mencakup 7 aspek. beberapa diantaranya adalah memiliki kantor manajemen, laboratorium pemeriksaan dan pengujian produk halal.
Lukman mengatakan, kawasan ekonomi halal akan diprioritaskan pada tiga sektor yang menjadi pionir, yakni makanan minuman, kosmetik, dan obat-obatan.
Hal tesebut dikarenkan ekspor dari tiga sektor tersebut cukup potensial untuk masuk ke pasar-pasar negara Timur Tengah dan Afrika.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan dirinya mendukung rencana pemerintah tersebut.
Dia juga setuju bahwa kawasan ekonomi halal akan meningkatkan kepercayaan pelanggan dan menigkatkan ekspor kedepannya.
"Dengan adanya kawasan ekonomi halal pastinya pembeli akan lebih yakin, dan tidak ada lagi mitra yang meragukan," ucapnya.
Saat ini, katanya, kantor cabang LPPOM MUI dan laboratorium halal tidak tersedia di daerah-daerah industri, hal tersebut membuat biaya untuk mengurus sertifikasi menjadi lebih mahal.
Adhi meyakini sistem yang terintegrasi nantinya akan sangat membantu pelaku usaha melakukan efesiensi waktu dan biaya, sehingga dapat fokus pada ekspansi pasar internasional.
Apalagi, jika wacana untuk menetapkan batas waktu pengusrusan sertifikat halal bisa direalisasikan hingga 62 hari.
"62 hari itu masih rancangan, tetapi jika bisa direalisasikan untuk waktu yang lebih cepat, tentunya akan sangat membantu," ucapnya.
Oleh karena itu, Adhi optimistis ekspor mamin dapat meningkat lebih jika kawasan ini beroperasi optimal.
Adapun, total ekspor makanan dan minuman itu dari Januari hingga November tahun ini terdiri dari ekspor industri makanan US$27.410 juta yang menurun 5,45% dari tahun lalu yang mencapai US$28.989 juta, sedangkan ekspor minuman sebanyak US$117.109 ribu atau bertumbuh 2% dari tahun lalu yang mencapai US$113.808 ribu.
Meski tidak menjawab secara eksplisit, Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Vincent Harijanto berharap pemerintah mempertimbangkan kewajiban pelabelan halal untuk produk farmasi.
Pasalnya, produk farmasi memiliki komponen bahan baku yang cukup komplek, yang mana membutuhkan analisa yang tidak mudah untuk menentukan kehalalannya.
Lagipula, menurutnya obat bukan komoditas yang dikonsumi berdasarkan kemauan, sehingga sertifikasi halanya masih bisa ditoleransi.
"Active Pharmaceutical Ingredients dibuat dari berbagai Intermediates, berarti semua proses produksi nya harus halal dan seterusnya. Disamping itu bat kan bukan makanan, kita tidak bisa pilih," ujarnya.
Adapun, total ekspor obat kimia dan obat tradisional sepanjang Januari—November 2018 mencapai US$550 juta atau terkoreksi 4,81% secara yoy.