Bisnis.com, JAKARTA—Daya beli disebut menjadi tantangan utama bagi pelaku industri jamu pada tahun ini.
Dwi Ranny Pertiwi Zarman, Ketua Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional (GP Jamu), mengatakan industri jamu juga menghadapi tantangan yang dihadapi oleh industri lainnya, yaitu pelemahan permintaan masyarakat. Menurutnya, hal ini memberatkan karena pelaku industri tidak mampu berbuat banyak untuk mendongkrak daya beli.
“Kalau masalah regulasi, seberat apapun pada akhirnya kami bisa penuhi, sedangkan kalau daya beli susah,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (3/1/2019).
Produk impor juga tidak terlalu dipandang sebagai masalah yang berat karena menurut Ranny saat ini produk jamu dari luar negeri sudah mulai berkurang. Beberapa importir telah melaporkan ke asosiasi bahwa saat ini mengalami kesulitan untuk masuk pasar dalam negeri.
Bahkan, para importir tersebut menyatakan minatnya untuk membangun fasilitas produksi di dalam negeri. Ranny menuturkan dia mengarahkan pembangunan pabrik jamu di kawasan Jawa Tengah, seperti Solo, dan juga ke daerah Yogyakarta.
“Upah tenaga kerja di daerah tersebut lebih rendah, tidak setinggi di Jabodetabek,” jelas Ranny.
Kondisi industri jamu pada tahun babi tanah juga semakin berat karena di tengah permintaan masyarakat yang belum kuat, produsen mau tak mau meningkatkan harga jual. Pasalnya, pelaku usaha banyak yang telah menahan kenaikan harga pada tahun lalu, sedangkan biaya kemasan dan tenaga kerja mengalami kenaikan. Akibatnya, margin keuntungan telah banyak tergerus.
Ranny mengatakan perusahaan yang dipimpinnya, Vermindo Internasional, telah menahan kenaikan harga selama 3 tahun terakhir. “Tahun ini mau gak mau naik, kalau enggak, kami tekor karena marginnya ketekan,” katanya.
Dengan kondisi yang masih penuh tantangan, Ranny masih berharap industri jamu masih bisa tumbuh positif setelah pada tahun lalu rerata pelaku usaha mengalami penurunan produksi. Secara nilai, diperkirakan mengalami peningkatan seiring dengan kenaikan harga produk, tetapi dari sisi volume bakal menurun.
“Berharap positif karena rerata melaporkan adanya penurunan tahun lalu. Naik 5% supaya kembali ke capaian 2017,” ujar Ranny.
Sebelumnya, Direktur PT Sido Muncul Tbk. Irwan Hidayat, mengingatkan pelaku industri jamu untuk sesegera mungkin memenuhi aturan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) karena gaya hidup, tingkat ekonomi, dan selera masyarakat terus berkembang. Kondisi ini membuat industri jamu dan obat herbal juga harus berbenah.
“Jika pengusaha [jamu dan obat herbal] tidak mengikuti [CPOTB] maka 2 tahun sampai 5 tahun lagi mereka akan ditinggal oleh pelanggannya. Secara natural yang tidak mengikuti zaman akan tersingkir,” kata Irwan.
Dia menyebutkan saat ini bersama badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), asosiasi menyelenggarakan program bapak angkat. Para pengusaha jamu dan obat herbal yang belum memenuhi aturan CPOTB dapat mempelajari langsung bagaimana cara produksi maupun pengembangan produk yang baik.
Adapun, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menilai industri jamu Indonesia memiliki potensi yang masih terbuka lebar. Indonesia menempati urutan keempat sebagai produsen jamu setelah China, India, dan Korea. Indonesia juga memiliki 30.000 jenis tanaman herbal, tetapi baru dimanfaatkan sebanyak 350 jenis.
Potensi nilai penjualan jamu di dalam negeri mencapai Rp20 triliun dan ekspor senilai Rp16 triliun, sedangkan penjualan herbal dunia mencapai angka US$60 miliar setiap tahun.
“Potensi ini sebaiknya dilirik oleh produsen dalam negeri karena negara lain sudah melihat Indonesia punya potensi besar,” kata Airlangga.
Ke depan, Kemenperin mengarahkan program pengembangan industri jamu dalam kerangka mengimbangi kompetisi dan impor, mendorong kemandirian di bidang teknologi, peningkatan kemampuan sumber daya manusia, serta mengembangkan dan mengamankan pasar dalam negeri.