Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia siap menghadapi Filipina, yang mengancam bakal menerapkan hambatan dagang terhadap ekspor komoditas minyak sawit dan kopi dalam kemasan dari Tanah Air.
Pemerintah Filipina sebelumnya merasa keberatan dengan kebijakan Indonesia terkait dengan pembatasan impor bawang merah, dan regulasi-regulasi kesehatan yang dianggap menghambat penjualan tembakau Filipina di Nusantara.
Sebagai balasan, negara pimpinan Presiden Rodrigo Duterte itu berencana meretaliasi dengan menerapkan bea masuk tindak pengamanan (BMTP)/safeguards terhadap impor kopi instan dan mengenakan tarif masuk serta pembatasan impor crude palm oil/CPO dari Indonesia.
Menanggapi rencana Filipina itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengungkapkan, saat ini Pemerintah RI berupaya menegosiasikan pengamanan akses pasar kedua komoditas tersebut di negara beribu kota Manila itu.
“Untuk [ekspor] kopi instan, kami sudah mendapatkan usulan dari Filiipina. Mereka berharap sebagai imbalan [jika Indonesia ingin] safeguards untuk kopi instan dicabut, perusahaan Indonesia harus berinvestasi untuk sektor itu di Filipina,” katanya kepada Bisnis.com, Selasa (22/1/2019).
Oke melanjutkan, Filipina juga berjanji akan mencabut penerapan tindakan special safeguards (SSG) terhadap kopi instan dari Indonesia dalam waktu dekat. Namun, dia belum mengetahui kapan janji tersebut dipenuhi.
Untuk itu, dia berharap para pengusaha kopi instan Tanah Air menyanggupi permintaan Filipina tersebut. Terlebih, kopi dalam kemasan memiliki pangsa pasar yang cukup menjanjikan di negara kepulauan terbesar kedua Asean itu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah otoritas perdagangan, nilai ekspor produk kopi instan ke Filipina berkisar antara US$300—US$400 juta per tahunnya.
Sementara itu, terkait dengan rencana Manila memberlakukan bea masuk atau pembatasan impor CPO, Oke mengaku belum dapat berkomentar. Kendati demikian, dia siap melanjutkan lobi-lobi ke Filipina apabila komoditas andalan tersebut sampai dikenai hambatan tarif.
NEGOSIASI ALOT
Di sisi lain, sebagaimana dikutip dari Philstar Global pada Selasa (22/1), Menteri Pertanian Filipina Emmanuel Pinol mengklaim perundingan terkait dengan akses produk agrikultura antarkedua negara tidak berjalan lancar.
Dia menyatakan, Indonesia tidak benar-benar rela membuka akses pasar untuk produk pertanian Filipina, khususnya tembakau, bawang merah, dan buah-buahan. Menurutnya, kebijakan dalam negeri RI menjadi salah satu penghambatnya.
Tak hanya itu, dia melihat defisit neraca perdagangan sektor pertanian antarkedua negara terus defisit di pihak Filipina. Berdasarkan datanya, ekspor produk pertanian RI ke Filipina menembus US$1 miliar pada 2018, tetapi impornya hanya US$50 juta.
Menurutnya, salah satu komoditas penyumbang defisit di pihak Filipina adalah CPO. Pasalnya, volume ekspor CPO Indonesia ke Filipina terus naik dari 20.000 ton pada 2015, menjadi 260.000 ton pada 2017.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan dan Keberlanjutan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan, ancaman penerapan tarif impor CPO di Filipina tersebut tidak akan berdampak banyak terhadap kinerja ekspor CPO RI.
“Namun demikian, negara itu tetaplah pasar potensial, sehingga perlu dijaga. Sejauh ini, sepengetahuan kami, Filipina memang sedang mengamati impor CPO mereka dari RI yang melonjak tajam beberapa tahun terakhir,” ujarnya.
Bagaimanapun, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Rachmat Hidayat menegaskan, Filipina merupakan salah satu importir terbesar kopi instan di Asean. Untuk itu, dia berharap pemerintah tetap menjaga akses pasar di negara tersebut.
“Terkait dengan permintaan Filipina agar produsen kopi instan Indonesia berinvestasi di sana, itu semua kembali ke strategi masing-masing perusahaan. Namun, jika Filipina berkeras mengenakan SSG ke kopi instan, saya yakin masih ada pasar lain yang potensial di luar Filipina,” jelasnya.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal berpendapat, rencana retaliasi Filipina itu patut dicermati pemerintah karena dapat memicu aksi serupa dari negara-negara mitra Indonesia di Asia Tenggara, seperti Thailand, Malaysia dan Vietnam.
“Filipina ini terlihat mengadopsi upaya Donald Trump di Amerika Serikat, yang agresif menyisir negara-negara yang mengalami surplus perdagangan dengannya. Jika upaya mereka berhasil diterapkan ke Indonesia, bukan tidak mungkin diikuti oleh negara lain yang bernasib sama,” katanya.
Dia melanjutkan, keputusan Filipina mengenakan SSG terhadap produk kopi instan asal Indonesia hanya dapat diselesaikan dengan proses lobi-lobi. Pasalnya, SSG adalah instrumen yang diperkenankan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Sementara itu, terkait dengan CPO, apabila kebijakan yang dikenakan berupa pengenaan bea masuk tanpa disertai oleh dasar yang kuat, maka Indonesia dapat melaporkannya ke WTO. Hanya saja, RI harus rela mengeluarkan dana yang lebih besar untuk melakukan hal itu.