Bisnis.com, ROMA — Pemerintah Indonesia mengembangkan energi terbarukan untuk jangka panjang dan masif melalui revitalisasi kilang minyak agar dapat mengolah 100% minyak kelapa sawit menjadi bahan bakar minyak ramah lingkungan (green fuel).
Bahan bakar ramah lingkungan itu terdiri atas jenis gasolin (Premium, Pertalite, Pertamax, dan avtur) dan diesel (Solar, Pertadex, dan Dex).
Saat ini, pemerintah sudah menjalankan program mandatory biodiesel 20%, bauran 20% biodiesel dan 80% Solar. Biodiesel tersebut dicampur dengan Solar di terminal bahan bakar minyak (TBBM) bukan di kilang minyak.
Sementara itu, green fuel diproduksi langsung dari kilang minyak dengan menggunakan bahan baku minyak kelapa sawit. Bahkan, 100% minyak sawit (crude palm oil/CPO) bisa dijadikan Premium.
PT Pertamina (Persero) pun menyiapkan dana investasi sekitar US$600 juta—US$800 juta untuk mengembangkan Kilang Plaju dan Dumai agar mampu mengolah CPO menjadi bahan bakar minyak ramah lingkungan atau green fuel.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan bahwa produk bahan bakar minyak ramah lingkungan yang 100% dari bahan bakar nabati bisa masif dalam waktu 3 tahun ke depan. Menurutnya, setelah Kilang Plaju menghasilkan green fuel, selanjutnya Kilang Dumai juga mampu menghasilkan green fuel.
“Jadi, kami maksimum 3 tahun [mampu menghasilkan green fuel secara masif] karena kami ini membangun [kilang hijau/green refinery] sendirian, yaitu sistem di Plaju dan Kilang Dumai. Itu bisa masif setelah itu karena bisa 100% dari CPO,” katanya dalam penandatanganan kerja sama Pertamina & Eni dalam pengolahan CPO menjadii green fuel di Roma, Italia, Rabu (30/1/2019).
Nicke menjelaskan, Pertamina akan mengembangkan energi ramah lingkungan dalam jangka panjang sehingga perlu ada pengaturan harga bahan baku, yaitu CPO, untuk kepentingan jangka panjang.
“Jangan lihat CPO hanya sebagai komoditas. Dalam konteks ini, CPO sebagai bahan baku dari green refinery. Oleh karena itu, kami perlu ada regulasi dan kerja sama pasokan jangka panjang dari para pemilik kebun untuk dapat menjamin pasokan.”
Penggunaan CPO sebagai BBM secara masif akan mengurangi kebutuhan minyak mentah sehingga dapat menekan volume impor.
Menurutnya, Pertamina dapat memberikan jaminan penyerapan CPO dalam jangka panjang melalui pembangunan kilang minyak ramah lingkungan tersebut.
Nicke menegaskan bahwa pengembangan green energy membutuhkan regulasi dari pemeritah. Dia menconothkan, harga gas untuk pembangkit juga diatur oleh pemerintah. Ke depan, CPO akan menjadi bahan baku BBM sehingga pemerintah perlu mengatur harga komoditas tersebut.
Dia menambahkan, upaya Pertamina masuk ke green fuel merupakan langkah awal untuk mendukung pemerintah dalam mencapai target bauran energi hijau sebesar 23% pada 2025.
Penggunaan energi terbarukan tidak hanya di sektor pembangkit listrik, tetapi juga transportasi. Pertamina akan fokus pada peningkatan bauran energi terbarukan di sektor transportasi.
Padahal, Pertamina juga sudah menerapkan bauran Solar dan 20% bahan bakar nabati atau B20.
Menurutnya, tidak hanya pemanfaatan CPO, Pertamina juga akan mengolah minyak goring bekas atau jelantah agar dapat dijadikan BBM. Teknologi, katanya, mampu mengolah berbagai macam jenis bahan baku energi terbarukan seperti limbah, minak goreng bekas, dan lainnya.
Pertamina, katanya, akan mengeluarkan investasi sekitar US$600 juta—800 juta dalam pengembangan Kilang Plaju agar mampu mengolah CPO menjadi Premium, Pertalite, dan Pertamax. Kapasitas Kilang Plaju pun bisa meningkat menjadi 280.000 barel per hari (bph).
Nicke menambahkan, Indonesia menjadi produsen CPO terbesar di dunia. Di sisi lain, beberapa negara justru berkampanye untuk tidak menggunakan CPO. Pemanfaatan CPO di dalam negeri untuk diolah menjadi BBM akan membantu industri perkebunan kelapa sawit.
Menurutnya, Pertamina akan menggandeng Eni untuk merevitalisasi Kilang Plaju. Pertamina akan membentuk usaha patungan. Namun, dia memastikan, komposisi kepemilikan Pertamina akan lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang menjadi mitranya.