Bisnis.com, JAKARTA--Kontribusi ekspor keramik bisa naik menjadi 30% dari total produksi apabila pemerintah memberikan harga gas yang berdaya saing.
Edy Suyanto, Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), mengatakan saat ini ekspor keramik baru sekitar 10% dari kapasitas produksi. Ekspor keramik kurang optimal karena harga gas di negara lain lebih rendah, yang pada akhirnya mempengaruhi harga jual produk.
Di Malaysia, misalnya, industri keramik mendapatkan gas bumi dengan harga US$7,5 per MMBTU. Sementara itu, di Jawa Barat dan Banten, yang banyak terdapat pabrik keramik, harga gas yang harus dibayar senilai US$9,1 per MMBTU. Di Jawa Timur, harga cukup miring, yaitu US$7,98 per MMBTU.
Edy menuturkan industri tidak memaksa mendapatkan harga gas senilai US$6 per MMBTU, tetapi setidaknya harga gas antara Jabar dan Banten disamakan dengan harga di Jatim, yang mendekati harga gas di Malaysia.
"Kalau diberikan kesempatan itu, harga gas lebih berdaya saing, kami yakin bisa genjot ekspor sampai 30% dari total produksi," ujarnya di Jakarta, Kamis (14/3/2019).
Apalagi, produk keramik domestik juga lebih unggul dari sisi teknologi dan bahan baku lebih lengkap di Indonesia dibandingkan negara lain. Edy mencontohkan dengan penggunaan gas bumi, produk yang dihasilkan lebih bersih dan memiliki kualitas lebih baik dibandingkan produk yang menggunakan coal gas sebagai bahan bakar.
Saat ini, produsen di China dan Vietnam menggunakan bahan bakar tersebut. "Perusahaan di Indonesia tidak menggunakan coal gas karena tidak ramah lingkungan, kualitasnya juga lebih bagus menggunakan LNG. Coal gas ada partikel kecil residu yang mempengaruhi kualitas," jelasnya.
Sepanjang 2018, kapasitas produksi industri keramik dalam negeri tercatat sebesar 380 juta m2 dari kapasitas terpasang sebesar 580 juta m2. Pada tahun ini, asosiasi optimistis kapasitas produksi bisa tumbuh sekitar 7% menjadi 420 juta m2 hingga 450 juta m2.