Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) memproyeksi ongkos produksi akan membengkak seiring dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% dan Upah Minimum yang naik 6,5% tahun depan.
Ketua Umum Asaki Edy Suyanto mengatakan pelaku usaha sepakat meminta pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mempertimbangkan kembali waktu yang tepat menaikkan PPN dari 11% menjadi 12%.
“Seharusnya tidak di tahun 2025 di mana kondisi daya beli masyarakat masih lemah akan terganggu dan mengalami penurunan karena kenaikan harga barang dan potensi inflasi akan makin memberatkan masyarakat,” kata Edy, Kamis (5/12/2024).
Dengan tekanan kenaikan PPN dan upah minimum maka mau tak mau industri keramik melakukan penyesuaian pada harga jual seiring dengan kenaikan harga bahan baku, sparepart, kemasan, dan lainnya.
Padahal, pelaku industri disebut tengah bersemangat atas program 3 juta rumah per tahun dan berharap banyak pada percepatan realisasi program tersebut.
“Karena akan menciptakan demand atau kebutuhan keramik yang cukup besar sekitar 110 juta meter persegi keramik atau setara dengan 17% kapasitas produksi keramik nasional di tengah ketidakpastian perekonomian nasional dan dunia tahun 2025,” tuturnya.
Baca Juga
Di sisi lain, untuk mempertahankan daya saingnya di tengah pembengkakan biaya produksi tahun depan, Edy meminta perpanjangan insentif harga gas bumi tertentu (HGBT) senilai US$6,5 per MMbtu untuk industri keramik.
Perpanjangan kebijakan tersebut juga diharapkan diiringi dengan kepastian supply gas yang selama ini realisasi nya hanya berkisar 65%-70% dari volume kontrak gas dari PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dengan alasan shortage gas dari hulu.
“Kami meminta campur tangan pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM untuk menyelesaikan masalah gangguan supply gas yang telah berlarut-larut tanpa solusi,” jelasnya.
Apalagi, industri keramik juga dibebani dengan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat lantaran pembayaran gas ke PGN menggunakan dolar AS sehingga berdampak langsung terhadap peningkatan biaya energi gas yang merupakan 30% dari total biaya produksi keramik.
Upaya lain untuk menjaga daya saing industri yakni dengan perpanjangan kebijakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atau safeguard yang telah berakhir November 2024.
Pihaknya cemas karena kurangnya atensi dari pemerintah terkait perpanjangan BMTP keramik tersebut. Apalagi, Bea Masuk Antidumping (BMAD) terhadap produk impor asal China berkisar 35%-50% yang baru diberlakukan belum sesuai dengan harapan pengusaha yakni sebesar 70%-100%.
Menurut dia, proses perpanjangan BMTP telah dimulai sejak 6 bulan yang lalu sebelum berakhirnya BMTP. Edy menilai semestinya tidak ada alasan BMTP terlambat diperpanjang.
“Kami memandang sangat perlu kehadiran BMTP Keramik untuk melengkapi BMAD yang besarannya tidak memadai untuk mengerem masuknya produk impor keramik dari China yang mana saat ini negara tersebut sedang mengalami over kapasitas dan oversupply,” pungkasnya.