Bagaimana bentuk kemitraan Goro dengan warung atau komunitas?
Lima cabang Goro itu berlokasi di Cibubur, Bandung, Wonosobo, Surabaya, dan Papua. Sebagai contoh, sebelum dibuka di Cibubur, kami sudah melakukan banyak pendekatan, pembinaan, pelatihan ke komunitas pemasok dari petani dan Usaha Kecil Menengah [UKM]. Selanjutnya, distribusi produk mereka melalui Goro. Secara mendasar kami memperpendek rantai ekonomi, sehingga produsen lebih diuntungkan. Tentunya untuk membentuk ekosistem ini kami harus bersama komunitas. Komunitas inilah yang kami bantu dan bangun.
Di Wonosobo, saat membuka Goro bukan kami menunggu lalat datang. Sebelum buka pada 3 Februari 2018 di Wonosobo, sejak September 2018 saya sudah blusukan ke pertanian para UKM. Tim saya juga sudah turun dan membentuk komunitas. Kami juga sudah memetakan untuk komunitas yang membutuhkan produk-produk kami. Jadi, kami sudah memetakan sisi suplai dan permintaan.
Apakah Goro memiliki fokus penjualan produk tertentu, disesuaikan dengan hasil bumi atau produk setiap daerah misalnya?
Setiap daerah tentunya berbeda. Namun, pada dasarnya apa yang kami kembangkan ialah sembako. Untuk UKM ada dua kategori, yakni pertanian mencakup hasil tani, peternakan, perikanan, serta ekonomi kreatif.
Di Cibubur, kami sudah membina hingga 100 UKM. Di Wonosobo, sudah ada 100 komunitas yang bergabung dengan Goro, tetapi yang aktif lebih dari 30 komunitas. Contoh UKM ialah produsen kecap khas Wonosobo. Kecap itu Kami naikkan tarafnya ke nasional, kita jual di Cibubur.
Kecap itu bukan dalam waktu sehari kami jalankan. Kami sudah melakukan workshop, mengecek standarisasi produksi, melewati kontrol kualitas dan pembinaan perusahaan, dan kami percaya diri membawanya ke nasional. Kalau di Bandung bisa 400 komunitas yang bergabung, seperti bakso tahu, dan perajin tahu tempe.