Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo memimpin Sidang Kabinet Paripurna yang diikuti hampir seluruh menteri Kabinet Kerja di Istana Kepresidenan Bogor, Bogor, Jawa Barat, Senin (8/7/2019).
Sidang Kabinet ini merupakan sidang kabinet pertama setelah serangkaian proses politik Pemilihan Presiden 2019 selesai dengan ditetapkannya Jokowi sebagai Presiden periode 2019—2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dalam Sidang Kabinet ini, Jokowi membahas mengenai kinerja ekonomi Indonesia terutama setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data ekspor dan impor Indonesia per Mei 2019. Presiden Jokowi mengingatkan sejumlah pekerjaan pemerintah pada 2019 yang masih harus diselesaikan.
Salah satu isu yang disorot Jokowi adalah penurunan ekspor sebesar 8,6% dalam periode Januari—Mei 2019 dan penurunan impor 9,2% dalam periode yang sama. Seperti diketahui, neraca perdagangan Indonesia defisit US$2,14 miliar. Dalam rapat itu, Jokowi minta para menteri untuk mencermati angka-angka tersebut dan mempertanyakan kenapa nilai impor begitu tinggi.
Dimintakan tanggapannya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan mengatasi masalah neraca perdagangan merupakan pekerjaan bersama dari seluruh anggota kabinet.
Presiden Jokowi, ujar Sri, menyatakan seluruh tim harus melihat secara rinci komoditas dan negara tujuan ekspor dari Indonesia supaya pemerintah dapat memformulasikan kebijakan yang lebih tepat.
"Dari saya menyampaikan laporan semester satu dari APBN. Terlihat bahwa dari sisi external balance-nya yaitu ekspor impor itu mengalami pelemahan dan itu berkontribusi kepada pelemahan ekonomi kita di dalam negeri juga sehingga membutuhkan perhatian dari seluruh kementerian dan lembaga untuk memacu perdagangan terutama ekspor dan untuk menjaga subtitusi impor tetap terbangun," kata Sri.
Berdasarkan data BPS, jumlah impor migas Indonesia mencapai US$9,08 miliar dalam periode Januari-Mei 2019 atau defisit US$3,74 miliar dibandingkan dengan ekspor migas US$5,34 miliar pada periode yang sama 2019.
Dalam periode itu, impor migas Indonesia sebenarnya lebih rendah dibandingkan dengan impor migas US$11,922 miliar pada Januari-Mei 2018. Defisit migas Indonesia mencapai US$5,12 miliar pada lima bulan pertama 2018.
Secara keseluruhan, neraca perdagangan Indonesia defisit sebesar US$2,14 miliar pada periode Januari-Mei 2019 dimana nilai impor mencapai US$70,6 miliar dan nilai ekspor US$68,46 miliar.
Sri mengatakan produksi minyak dan gas di Inonesia lebih rendah dari asumsi awal pada semester I/2019. "Tahun ini juga kebetulan kurs maupun harga minyak lebih rendah, jadi penerimaan kita dari sisi migas mengalami penurunan, namun kebutuhan di dalam negeri itu meningkat," kata Sri.
Dengan demikian, ujar Sri, pemerintah harus memikirkan strategi dari sisi hulu seperti bagaimana menemukan sumur-sumur baru atau memproduksi minyak yang lebih banyak dari sumur-sumur yang telah ada.