Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah perlu mengantisipasi cuaca ekstrem yang melanda di sejumlah titik sentra produksi pangan. Pasokan pangan selama kuartal I/2025 harus dipastikan aman di tengah bayang-bayang fenomena alam La Nina.
Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Eliza Mardian menjelaskan bahwa cuaca ekstrem akan mempengaruhi produksi dan juga distribusi pangan.
Bahkan, Eliza menyebut cuaca ekstrem akan lebih berdampak kepada produksi pada kuartal I/2025. Sebab diprediksi terjadi La Nina hingga April 2025, dan periode ini merupakan panen raya padi.
Apalagi, saat hujan melanda harga komoditas seperti cabai hingga bawang merah relatif mahal imbas gagal panen.
“Pemerintah mesti mengantisipasi untuk bisa mengamankan pasokan pangan di awal tahun 2025 dan selama kuartal I/2025,” kata Eliza kepada Bisnis, Minggu (22/12/2024).
La Niña merupakan fenomena ketika suhu permukaan laut di bagian tengah dan timur Samudra Pasifik tropis menjadi lebih dingin dari biasanya.
Baca Juga
Dampak dari fenomena ini adalah peningkatan curah hujan, terutama di daerah tropis. Namun, di beberapa wilayah lain, La Niña justru dapat menyebabkan kekeringan.
Di samping itu, cuaca ekstrem juga akan mengganggu distribusi dari sentra produksi hingga ke pasar. Imbasnya, biaya transportasi membengkak dan berdampak pada harga akhir komoditas.
Eliza menuturkan bahwa dampak dari cuaca ekstrim terasa signifikan terhadap produksi, lantaran kurangnya teknologi serta inovasi yang diterapkan petani dalam mengantisipasi perubahan iklim.
Selain itu, lanjut dia, juga diperparah oleh buruknya kondisi infrastruktur irigasi dan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Menurutnya, kondisi ini akan menjadi bom waktu, terutama saat cuaca ekstrem melanda.
“Akar masalahnya begitu kompleks namun saling terkait. Di hulu, penebangan liar dan alih fungsi lahan terus menggerus kawasan resapan air,” ujarnya.
Imbasnya, gagal tanam dan gagal panen menjadi momok yang terus membayangi petani. Di mana, produktivitas menurun, sementara biaya produksi makin membengkak.
“Pasokan pangan terganggu, harga bergejolak, dan impor bisa jadi terus meningkat, padahal pemerintah ingin setop impor pangan,” tuturnya.
Seperti diketahui, pemerintah akan menyetop keran impor beras konsumsi, jagung pakan ternak, hingga gula konsumsi pada 2025. pemerintah bertekad untuk menggenjot produksi pangan dalam negeri.
Lebih lanjut, Eliza menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan langkah terobosan yang komprehensif untuk mengantisipasi cuaca ekstrem. Salah satunya dengan melakukan rehabilitasi infrastruktur irigasi yang harus dilakukan secara masif dan beriringan dengan reformasi tata kelola air yang transparan dan terintegrasi.
Kemudian, sambung dia, diperlukan dukungan fiskal yang memadai untuk melakukan revitalisasi dan pembangunan irigasi. Serta, memasifkan para penyululuh untuk mendorong para petani melakukan upaya preventif mengantisipasi dampak cuaca ekstrem dengan bimbingan teknis yang intensif.
Eliza menambahkan, perlu juga membangun koordinasi yang solid antar para pemangku kepentingan untuk memitigasi dampak cuaca ekstem hingga mendorong pengimplementasian varietas tanaman yang tahan iklim.
“Selain perlunya mendorong penelitian, juga perlu dorongan penggunaan varietas tanaman yang tahan terhadap kondisi ekstrem, seperti kekeringan atau genangan air, untuk meminimalkan risiko gagal panen,” pungkasnya.