Bisnis.com, JAKARTA -- DPP Indonesian National Shipowners' Assosiation memprediksi terjadi inefisiensi hingga 35 persen sebagai akibat tumpang tindih kewenangan penegakan hukum di transportasi laut.
Ketua Umum DPP Indonesian National Shipowners' Assosiation (INSA) Carmelita Hartoto menuturkan inefisiensi hingga 35 persen itu memicu pembengkakan biaya yang harus ditanggung operator pelayaran.
Oleh karena itu, dia meminta otoritas penjagaan laut dan pantai secara tunggal segera dibentuk guna mengakhiri banyaknya otoritas yang memiliki kewenangan menangkap kapal di tengah laut sehingga menyebabkan biaya lebih tinggi.
Tumpang tindih penegakan hukum di laut tersebut berdampak bagi operasional pelayaran nasional. Kondisi ini, katanya, tidak hanya menyebabkan biaya tinggi, tapi juga membuat ketidakpastian waktu pelayaran.
"Ada belasan instansi yang berwenang melakukan tindakan keamanan di laut dan menghentikan serta memeriksa kapal yang sedang berlayar atau berlabuh, biaya tinggi hingga 35 persen," ungkapnya kepada Bisnis.com, Selasa (19/8/2019).
Selain ulah oknum, dia menilai hal itu terjadi karena tidak adanya instansi yang berwenang seperti Sea and Coast Guard tunggal, sehingga dijadikan dalih bagi oknum aparat tadi untuk bertindak menyalahgunakan wewenangnya.
"Oleh karena itu, keberadaan single agent multiforce [satu badan dengan berbagai penegakan hukum] yang harusnya dilakukan oleh Sea and Coast Guard sebagaimana diamanahkan dalam UU No 17/2008 tentang Pelayaran, pasal 279 mutlak segera diimplementasikan," tuturnya.
Dengan begitu, menurutnya, jelas kewenangan penegakkan hukum untuk keselamatan dan keamanan di lauts, sebagaimana dilakukan di seluruh negara.
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldi Ilham Masita menuturkan selain adanya inefisiensi, pelayaran Indonesia tengah dalam kondisi sakit dimana saat ini kapal nasional tengah sepi dan perang harga.
"Kalau barangnya sepi ya pelayaran juga sepi. Kalau barangnya banyak dan pelayaran stagnan pasti biaya freight tinggi tapi kenyataannya biaya pelayaran container domestik rendah yang tinggi ke indonesia timur, karena tidak ada muatan balik," jelasnya kepada Bisnis.
Zaldi menuturkan pelayaran Indonesia harus terlindungi dengan tetap mengedepankan asas cabotage atau kepemilikan pengusaha Indonesia agar kedaulatan negara dalam pelayaran tetap terjamin.
Menurutnya, kapal sama seperti pesawat, teknologi dengan cepat bisa diikuti karena pembuat kapal di dunia tidak begitu banyak.
"Perlu diingat bentuk indonesia adalah kepulauan dan terbesar di dunia. Dengan memberikan akses kapal asing masuk ke perairan dalam Indonesia maka kita memberikan akses kepada kapal asing ke semua titik di dalam Indonesia," tuturnya.
Padahal, selama ini pihak negara asing hanya boleh singgah di pelabuhan internasional atau menumpang lewat di jalur selat alur laut kepulauan Indonesia (ALKI).