Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja ekspor produk hasil industri furnitur dan kerajinan Indonesia cenderung stagnan selama beberapa tahun terakhir lantaran masih banyak pelaku usaha yang enggan menerima pesanan dari luar negeri dalam jumlah besar.
Tercatat nilai ekspor produk hasil industri yang berbahan dasar kayu dan rotan itu pada 2018 sebesar US$1,49 miliar naik tipis dibandingkan 2017 sebesar US$1,63. Kemudian pada 2016 tercatat nilai ekspor produk tersebut sebesar US$1,61 miliar atau mengalami penurunan dari 2015 sebesar US$1,71.
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Edy Sutopo mengatakan hal tersebut merupakan ekses dari ketidakpastian bahan baku yang hingga kini masih menjadi momok bagi industri furniture dan kerajinan di Tanah Air. Adapun untuk mengatasi permasalahan tersebut, Edy mengklaim pihaknya telah menyiapkan sebuah terobosan yang berbasis teknologi internet of things (IoT).
“Kami sedang mengkaji sistem logistik baru yang memberikan informasi mengenai bahan baku di gudang-gudang yang ada secara terintegrasi dengan [teknologi berbasis] IoT untuk mengatasi masalah ketidakpastian bahan baku. Saat ini kami secara simultan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait di daerah,” katanya ketika dalam sebuah forum diskusi Jakarta, Rabu (30/10).
Menurut Edy, permasalahan lain yang ikut membuat kinerja ekspor produk industri furnitur dan kerajinan Tanah Air adalah masih rendahnya kemampuan sebagian besar pelaku usaha untuk menciptakan produk-produk dengan desain atau inovasi yang menarik. Kenyataannya, produk-produk tersebut memiliki nilai tambah yang berkali-kali lipat dan tentunya membuat pelaku usaha memperoleh keuntungan lebih besar dan mendongkrak kinerja ekspor.
“Namun, sudah ada sekitar 5% dari pelaku usaha yang sadar dan akhirnya berusaha meningkatkan kemampuan mereka, memperkuat riset, dan upgrade teknologi permesinan. Ekspor mereka lonjakannya besar bisa 20% sendiri,” ungkapnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Pengembangan Promosi dan Citra Kementerian Perdagangan (Kemendag) Tuti Prahastuti mengatakan pihaknya telah melakukan sejumlah upaya untuk meningkatkan kinerja ekspor produk furniture dan kerajinan Tanah Air. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan adalah pelatihan, pemberian informasi pasar atau negara tujuan ekspor, hingga bantuan pemasaran.
“Pelatihan bagaimana mendesain produk yang sesuai dengan tren dunia melibatkan ahli atau desainer-desainer termasuk dari luar negeri. Salah satunya yang sudah kami lakukan adalah melatih usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) bagaimana menciptakan furnitur atau home decor dari bahan kayu ringan yang berkualitas, bekerjasama dengan Jerman,” katanya.
Untuk pemasaran, Tuti menyebut Kemendag telah memfasilitasi pemasaran produk industri furniture dan kerajinan melalui sejumlah pameran perdagangan baik di dalam maupun luar negeri. Selain itu, pemasaran juga dilakukan melalui misi dagang business to businesss (B2B) dan secara daring melalui berbagai situs web.
"Untuk tahun depan ada pameran Hannover Messe 2020 di Jerman pada April dan Dubai World Expo 2020 yang akan dimulai Oktober, tentunya akan kami bawa juga [produk industri furnitur dan kerajinan Indonesia],” ungkapnya.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengatakan permasalahan ketidakpastian bahan baku untuk industri furnitur dan mebel terletak pada tata niaga. Dia menampik bahwa ketidakpastian tersebut terjadi akibat kurangnya pasokan dari hulu atau kayu dari hutan.
“Tata niaganya yang salah, kita ini punya hutan segitu luas kok pasokan bisa kurang? Lucu itu namanya. Kurang karena selama ini hanya menebang-menebang saja tanpa memikirkan keberlanjutannya bagaimana. Seharusnya diatur dengan jelas mana yang boleh ditebang, kapan boleh ditebang, wajib ditanam kembali,” katanya.
Oleh karena itu, Sobur mendesak agar pemerintah bisa segera membenahi tata niaga perkayuan yang menurutnya ikut membuat produk hasil industri furnitur dan kerajinan di Indonesia tak kompetitif dibandingkan dengan produk-produk serupa dari negara lain, khususnya Vietnam.
“Tata niaga selain soal keberlanjutan juga bagaimana insentif yang diberikan untuk kami yang memang berorientasi ekspor. Salah satunya yang kami tunggu untuk segera diwujudkan adalah penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk kayu bulat,” tegasnya.