Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indonesia Dianggap Negara Paling Proteksionis, Apa Kata Ekonom?

Tholos Foundation mengukur hambatan perdagangan, baik secara langsung maupun tak langsung, yang diberlakukan oleh 122 negara.
PT Pelni dan Kemenhub melepas voyage perdana KM Logistik Nusantara 4 menuju Kepulauan Riau, Senin (6/1/2025). Bisnis/Artha Adventy
PT Pelni dan Kemenhub melepas voyage perdana KM Logistik Nusantara 4 menuju Kepulauan Riau, Senin (6/1/2025). Bisnis/Artha Adventy

Bisnis.com, JAKARTA — Tholos Foundation menempatkan Indonesia sebagai negara paling proteksionis di dunia. 

Para ekonom sepakat proteksionisme yang berlebihan tak baik untuk ekonomi.

Merujuk laporan bertajuk International Trade Barrier Index 2025, Tholos Foundation mengukur hambatan perdagangan, baik secara langsung maupun tak langsung, yang diberlakukan oleh 122 negara. 

Negara-negara tersebut berkontribusi ke 97% produk domestik bruto (PDB) global dan 80% populasi di dunia.

Hasilnya, Indonesia menempati posisi ke 122 atau terakhir. Artinya, Indonesia merupakan negara dengan hambatan perdagangan paling banyak atau paling proteksionis.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin melihat sangat jarang negara dengan ekonomi tertutup yang mencapai pendapatan tinggi atau perkapita di atas US$14.000.

Dia mencontohkan dalam laporan International Trade Barrier Index 2025 itu, lima negara peringkat teratas (paling terbuka) yaitu Hong Kong, Singapura, Israel, Kanada, dan Jepang memiliki produk domestik bruto (PDB) perkapita di kisaran US$35.000—US$85.000.

Sementara itu, lima negara peringkat terbawah (paling proteksionis) yaitu Thailand, Venezuela, India, Rusia, dan Indonesia punya PDB per-kapita di kisaran US$2.500—US$14.000.

Menurutnya, itu menunjukkan bahwa justru dengan yang terbuka paling berpeluang menjadi maju atau PDB perkapita tinggi. Sebaliknya, negara tertutup justru sulit menjadi maju atau meraih PDB perkapita tinggi.

"Untuk bisa maju, ekonomi suatu negara harus terbuka sehingga investasi, modal, dan talent berkualitas bisa masuk," ujar Wija dihubungi Bisnis, Minggu (18/5/2025).

Dia tidak menampik bahwa pertumbuhan ekonomi rata-rata lima negara paling proteksionis justru lebih tinggi dari negara paling terbuka. 

Berdasarkan laporan World Economics Outlook IMF, rata-rata pertumbuhan ekonomi Thailand, Venezuela, India, Rusia, dan Indonesia sebesar 4,68% pada tahun lalu. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan ekonomi Hong Kong, Singapura, Israel, Kanada, dan Jepang 'hanya' sebesar 2,28% pada tahun lalu.

Kendati demikian, Wija menjelaskan ekonomi lima negara paling proteksionis tersebut bisa tumbuh lebih tinggi daripada lima negara paling terbuka bukan karena kebijakan proteksionisme melainkan karena basis PDB perkapita-nya yang berbeda.

Sederhananya, negara PDB perkapita yang sudah tinggi memiliki ruang pertumbuhan yang lebih sempit daripada negara dengan PDB perkapita yang masih rendah.

"PDB perkapita itu ibarat kecepatan mobil, dan pertumbuhan PDB itu akselerasi kecepatan mobil; semakin tinggi kecepatan mobil semakin sulit diakselerasi, tetapi semakin mudah untuk mobil yang masih berjalan pelan. Itu dia mengapa negara miskin cenderung tumbuh lebih cepat," tambah Wija.

Senada, Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai kebijakan perdagangan terbuka akan lebih baik untuk ekonomi global sehingga pemerintah antar negara perlu tetap membuka diri terhadap kebijakan perdagangan.

Hanya saja, Yusuf menegaskan kebijakan perdagangan bebas harus bersifat menguntungkan semua pihak alias mutual benefit. Oleh sebab itu, lanjutnya, jika tidak disusun secara hati-hati maka muara kebijakan perdagangan bebas pada justru bisa merugikan industri dalam negeri.

"Misalnya kalau kita bicara konteks perdagangan, bebas antara Indonesia dengan beberapa negara akhirnya bermuara terhadap peningkatan laju barang impor jadi yang akhirnya mendistorsi pasar industri domestik," jelas Yusuf.

Akibat banjir impor produk jadi—bukan impor bahan baku—justru industri tertentu tidak bisa bersaing. Padahal, banyak negara seperti Indonesia masih berada pada tahapan pembangunan.

Menurutnya, negara berkembang seperti Indonesia masih perlu memproteksi industri dalam negerinya terutama manufaktur. Yusuf menegaskan pentingnya kebijakan perdagangan yang memperkuat sektor manufaktur.

Dia mencontohkan, kebijakan Permendag No. 8/2024. Yusuf memahami bahwa kebijakan tersebut diperuntukkan untuk mempercepat aliran perdagangan impor terutama untuk industri.

"Namun pada kenyataannya justru kebijakan Permendag ini merupakan salah satu kebijakan yang disinyalir mendistorsi pasar industri dalam negeri," ujarnya.

Oleh sebab itu, dia berharap ke depan pemerintah melakukan kajian lebih komprehensif sebelum mengeluarkan kebijakan. 

Selain itu, proses pemantauan dan evaluasi juga harus tetap berjalan agar suatu kebijakan yang melakukan industri bisa dikoreksi atau sebaliknya yang memperkuat industri bisa dilanjutkan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper