Bisnis.com, JAKARTA - Goldman Sachs Group Inc. memproyeksikan pinjaman Dewan Kerjasama Teluk dapat turun menjadi US$10 miliar selama tiga tahun ke depan dari sekitar US$270 miliar, jika harga minyak terus naik.
Melansir Bloomberg jika harga komoditas rata-rata US$65 per barel, kebutuhan pinjaman untuk enam negara yang termasuk dalam dewan akan turun 96 persen dari harga jika minyak diperdagangkan pada US$45.
Ekonom Goldman Sachs Farouk Soussa mengatakan harga minyak telah reli hampir 80 persen sejak awal November menjadi sekitar US$70 per barel karena negara-negara ekonomi utama meluncurkan vaksin virus Corona dan OPEC, yang didominasi oleh anggota GCC Arab Saudi menerapkan pemotongan produksi yang dalam.
Goldman menyebut rata-rata yang diperlukan untuk menyeimbangkan rekening giro anggota GCC relatif lebih rendah pada US$5O per barel. Kondisi tersebut memberikan kenyamanan terkait prospek eksternal dan ketahanan pasak mata uang, bahkan jika harga turun dari level saat ini.
"Implikasi untuk neraca negara, kelayakan kredit dan pasar utang akan signifikan," menurut Soussa.
Kendati begitu, dia menyoroti kemungkinan bahwa beberapa ruang fiskal yang disediakan oleh harga minyak yang lebih tinggi kemungkinan besar akan terhapus oleh pengaturan.
Baca Juga
Adapun negara-negara teluk mengumpulkan sekitar US$ 63 miliar obligasi dan sukuk tahun lalu.
Selain itu, Kuwait kemungkinan mengalami peningkatan terbesar dalam keseimbangan anggarannya dari tingkat minyak yang tinggi, dengan kekurangannya menyempit sekitar 15 poin dari produk domestik bruto tahun ini.
Namun, pemerintah menghadapi tekanan likuiditas yang tidak dapat diatasi hanya dengan harga minyak yang lebih tinggi.
Selama tiga tahun ke depan, utang bersih Arab Saudi terlihat naik ke tingkat yang masih dapat dikelola pada 38 persen dari PDB.
Adapun, neraca fiskal Qatar terlihat membaik dari defisit 5 persen menjadi surplus 5 persen dari PDB.
Oman dan Bahrain mungkin akan mendapatkan keuntungan terbesar dari harga minyak yang lebih tinggi, mengingat posisi eksternal dan fiskal mereka yang lebih lemah.
Negara-negara lain di kawasan ini terlihat mengalami peningkatan yang lebih sederhana antara 2-4 poin persentase dari PDB dibandingkan dengan penganggaran resmi.