Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan pengusaha memperkirakan dampak dari melemahnya nilai tukar rupiah jika kebijakan tapering off bank sentral Amerika Serikat dimulai bisa lebih berat dibandingkan dengan 2013. Situasi pandemi yang melemahkan daya beli menjadi pengganjal utama dalam keberlanjutan usaha.
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Subandi mengatakan bahwa dampak taper tantrum pada 2013 memang berat bagi usaha impor bahan baku maupun barang konsumsi karena nilai tukar rupiah melemah lebih dari 50 persen dalam kurun 2013 sampai 2015. Namun, tekanan kala itu segera teratasi karena daya beli masyarakat cenderung tetap baik.
“Awalnya ada guncangan, tetapi kita tetap melakukan penyesuaian dari dalam negeri, seperti dari sisi harga. Meski demikian perlahan-perlahan bisa diatasi dan tidak terlalu menekan karena permintaannya tetap tinggi di dalam negeri. Jadi, sekarang ketika rupiah melemah dan memengaruhi impor, tantangan ada di daya beli. Dulu impor pun tetap ada pasar yang menyerap, sekarang lebih tidak pasti,” katanya ketika dihubungi Bisnis, Kamis (17/6/2021).
Subandi mengatakan bahwa pelaku usaha cenderung lebih berhati-hati dan melihat situasi pasar ketika akan melakukan pengadaan bahan baku maupun barang konsumsi untuk dijual ke pasar. Tantangan arus kas membuat dunia usaha menghindari penumpukan barang dalam jumlah besar di gudang-gudang.
“Dengan rupiah yang melemah, importir volume kecil dengan margin tipis akan makin menahan importasinya. Tidak akan direalisasikan sekarang dan melihat situasi,” kata dia.
Terlepas dari berbagai kekhawatiran akan kebijakan moneter Negeri Paman Sam, tutur Subandi, secara umum aktivitas impor masih berjalan normal. Dia mencatat hanya segelintir pelaku usaha yang menahan belanja sembari melihat perkembangan.
Baca Juga
Sebagaimana diwartakan Bisnis, Bank Indonesia memperkirakan langkah tapering off The Fed dilakukan mulai kuartal I/2022.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan bahwa inflasi yang meningkat tinggi di AS lebih bersifat temporer dan tekanan inflasi fundamental baru akan terjadi pada 2022 dan 2023.
Di sisi lain, tingkat pengangguran AS masih berada di kisaran 4,5 persen atau di atas target yang ditetapkan sebesar 3,6 persen.
Kedua indikator ini, tingkat inflasi dan pemulihan ekonomi sehingga menurunkan tingkat pengangguran, akan terus dipantau oleh BI dari waktu ke waktu untuk menentukan kebijakan moneter yang tepat.