Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Arif Budisusilo

Jurnalis Senior Bisnis Indonesia Group

Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia (2009-2016) dan Direktur Pemberitaan (2012-2020). Sejak Juli 2020, ditugaskan sebagai Presiden Direktur Solopos Group dan Harian Jogja. Menulis isu ekonomi makro, manajemen dan inovasi, serta perkembangan industri media. Twitter @absusilo, IG: arif_budisusilo

Lihat artikel saya lainnya

Ngobrol Ekonomi: Kurang Kencang, Pak Jokowi...

Mumpung kebijakan pengendalian pandemi sudah mulai menemukan polanya, percepatan pemulihan ekonomi juga perlu disiapkan secara paralel. Bila pandemi mulai teratasi, kita tidak kehilangan waktu lebih lama lagi mengejar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
Sejumlah kendaraan bermotor melintasi Jalan Gatot Subroto di Jakarta, Rabu (11/8/2021). Menurut Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta, polusi udara Jakarta memburuk pada masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sejak Juli 2021 karena melampaui baku mutu polusi udara harian sebesar 55 g/m3 untuk kandungan partikulat berukuran di bawah 2,5 mikrometer./Antara
Sejumlah kendaraan bermotor melintasi Jalan Gatot Subroto di Jakarta, Rabu (11/8/2021). Menurut Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta, polusi udara Jakarta memburuk pada masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sejak Juli 2021 karena melampaui baku mutu polusi udara harian sebesar 55 g/m3 untuk kandungan partikulat berukuran di bawah 2,5 mikrometer./Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Setelah dua bulan belakangan dibanjiri banyak kabar buruk, hari-hari ini kita mulai mendapatkan angin segar dengan sejumlah kabar baik. Dari sisi kesehatan, sepekan terakhir ini kasus aktif mulai menunjukkan tren penurunan, begitu pula kasus kematian dan keterpakaian tempat tidur rumah sakit. Dari sisi ekonomi,sepekan lalu sudah ramai jadi bahan gunjingan, Indonesia sudah keluar dari zona resesi.

Memang kesehatan dan ekonomi selama pandemi Covid-19 yang telah berlangsung lebih dari 17 bulan ini seperti dua sisi dari sekeping mata uang.

Dari sisi pandemi, berdasarkan data resmi pemerintah, kasus harian dan kasus aktif cenderung menunjukkan tren penurunan. Kasus baru harian tertinggi terjadi pada 15 Juli dengan 56.757 kasus, dengan rata-rata mingguan pekan itu sebanyak 50.039 kasus. Pada pekan ini, rata-rata mingguan tinggal 30.983 kasus.

Sedangkan kasus aktif cenderung terus menurun secara konsisten sejak 24 Juli lalu, saat puncak kasus aktif mencapai 574.135. Kemarin (12/8), angkanya terus menurun menjadi 412.776 kasus aktif.

Penurunan itu mengindikasikan bahwa jumlah pasien yang sembuh harian telah secara konsisten melampaui jumlah kasus baru harian.

Menurut Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Covid-19 Dewi Nur Aisyah, yang melakukan analisis data perkembangan pandemi Covid-19, penurunan kasus aktif itu adalah dampak dari pemberlakuan PPKM Darurat sejak 3 Juli lalu, yang dilanjutkan dengan PPKM Level 1-4 hingga hari ini.

Tren penurunan juga terjadi pada angka kematian akibat Covid-19. Selama tiga pekan terakhir, penurunan angka kematian mingguan mencapai 8,2 persen, dari posisi puncaknya pada akhir Juli lalu.

Jelas ini merupakan kabar baik.

Dan kabar baik dalam saat bersamaan datang dari sisi perkembangan ekonomi. Badan Pusat Statistik mengumumkan pada 5 Agustus lalu, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2021 mencapai 3,31 persen dibandingkan kuartal pertama. Namun bila dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun lalu, perekonomian tumbuh 7,07 persen year-on-year.

Pada kuartal yang berakhir Juni itu, Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan 2010, yang dipakai sebagai basis perhitungan angka pertumbuhan ekonomi, mencapai Rp2.772,8 triliun. Angka tersebut hanya sedikit di bawah posisi kuartal III-2019 yang merupakan PDB kuartalan terbesar sebelum pandemi, yakni Rp2.818,9 triliun.

Lalu dari mana datangnya angka pertumbuhan ekonomi itu?

Dari sisi produksi, menurut laporan BPS, sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 12,93 persen. Dari sisi pengeluaran, Konsumsi Pemerintah mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 29,07 persen untuk kinerja kuartalan.

Sedangkan dari pertumbuhan tahunan (year-on-year), sektor Transportasi dan Pergudangan mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 25,10 persen. Sebaliknya dari sisi pengeluaran, Ekspor Barang dan Jasa mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 31,78 persen.

Masuk akal, mengingat kuartal kedua tahun lalu, dunia sedang dalam puncak pembatasan mobilitas melalui kebijakan lockdown dan karantina di banyak negara. Sedangkan tahun ini, sudah relatif longgar di banyak negara tujuan ekspor Indonesia, terutama China.

BPS juga mencatat, jika dihitung berdasarkan perkembangan semesteran, perekonomian Indonesia tumbuh 3,1 persen pada semester I-2021 dibandingkan dengan semester I-2020.

Pertumbuhan terbesar terjadi pada Lapangan Usaha Informasi dan Komunikasi sebesar 7,78 persen serta Ekspor Barang dan Jasa sebesar 18,51 persen.

Dari sisi geografis, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2021 terjadi di semua kelompok pulau, di mana pulau Jawa mencatat pertumbuhan ekonomi paling tinggi sebesar 7,88 persen year-on-year.

Tentu, ini juga kabar baik.

***

Tentu, kabar baik itu wajib disyukuri. Sayangnya, di jagat maya, kabar baik itu malah dimaki. Banyak orang menyangsikannya.  Bahkan ada yang menganggap angka pertumbuhan ekonomi itu rekayasa. Netizen Indonesia memang luar biasa!

Namun, jangan salah kira. Saya bukan bermaksud memuji. Sebaliknya saya justru merasa angka 7 persem itu masih di bawah ekspektasi. Apalagi, tahun lalu IMF memproyeksikan Indonesia bakal tumbuh 8,1 persen tahun ini, di bawah China yang diproyeksikan tumbuh 9 persen, apabila Indonesia berhasil mengendalikan pandemi Covid-19 dengan baik.

Bagi saya, justru ada yang kurang kencang dengan pencapaian itu. Kabar baik tersebut, sebenarnya masih bisa lebih baik lagi. Di dua sisi. Di sisi kesehatan, maupun sisi ekonomi.

Mungkin saya tak perlu mengulas potensi yang hilang di sisi kesehatan. Sudah banyak analisis dan pendapat di luar sana, bagaimana seharusnya keahlian teknokrasi pemerintah di level pusat dan daerah dimanfaatkan lebih maksimal dalam manajemen pandemi ini.

Pada saat yang sama, solidaritas bersama dalam perang melawan pandemi ini banyak diciderai oleh "kampanye" disinformasi dan paparan hoaks di tengah masyarakat kitam, yang memperpartah paparan Virus Corona.

Artinya, apabila pemerintah lebih mampu mengoptimalkan keahlian teknokrasinya, tidak setengah-setengah dalam penanganan pandemi, termasuk memaksimalkan penggunaan teknologi informasi, kabar kita akan jauh lebih baik lagi.

Tentu kondisi pada sisi kesehatan itu berimbas ke sisi ekonomi. Kita sudah saksikan, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 7 persen pada kuartal kedua tahun ini. Pada semester I bahkan hanya tumbuh 3,1 persen.

Artinya, kinerja itu menunjukkan bahwa masih ada yang kurang optimal dalam penanganan pandemi di Indonesia. Mekanisme rem dan gas sepertinya tidak berjalan sesuai rencana.

Belum lagi model kebijakan yang selalu berubah-ubah, sehingga masyarakat tidak sepenuhnya teredukasi. Masyarakat terlanjur "bingung" dengan aneka perubahan yang terjadi, selain jenuh terlalu lama terkungkung pandemi. Terlebih, sebagian masyarakat telah menjadi korban hoaks dan disinformasi, sehingga memiliki pemahaman yang tidak memadai mengenai perilaku hidup di lingkungan pandemi.

Dengan kata lain, langkah kita dalam mengendalikan pandemi, sejak merebak pertamakali Maret tahun 2020, kurang berlari kencang. Karena itu, dampaknya justru memperlama pemulihan ekonomi.

Beruntung sejak awal Juli lalu pemerintah memperbaiki mekanisme kebijakan pengendalian pandemi --yang bertumpu pada pembatasan mobilitas-- dengan tolok ukur dan kriteria yang lebih jelas. Pemerintah menerapkan model pembatasan melalui PPKM Level 1-4, yang menjadi acuan PPKM Darurat sebelumnya, yang sebenarnya mirip dengan pengaturan pembatasan di sejumlah negara, termasuk Singapura.

Kita juga mendengar, saat ini pemerintah sedang merancang roadmap yang akan menjadi pedoman bagi masyarakat "hidup berdampingan" dengan Virus Corona. Ini sejalan dengan ekspektasi bahwa saat pengendalian pandemi sudah mencapai level herd immunity, maka kehidupan normal baru harus dijalani.

Bahwa Virus Corona akan diperlakukan sebagaimana halnya virus influenza biasa, sehingga manusia yang sudah memiliki kekebalan tertentu karena sudah mendapatkan vaksin atau sudah pernah terpapar, akan selamat dari serangan virus ini. Kalaupun sakit, tingkat fatalitasnya tidak akan terlalu berbahaya.

Roadmap ini tentunya juga perlu beriringan sejalan dengan rencana ekonominya. Kembali ke filosofi seperti dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Maka, disain kebijakan untuk percepatan pemulihan ekonomi pun perlu dirancang mulai hari ini juga, secara paralel dengan pengendalian pandemi.

Saya juga mendengar, Pak Jokowi ingin mempercepat pelaksanaan UU Cipta Kerja, yang seperti terseret badai pandemi. Begitu UU tersebut disahkan, perekonomian terlebih dahulu dihantam pandemi. Akibatnya, cita-cita untuk menggenjot investasi guna menciptakan lebih banyak lapangan kerja, perlu disimpan dulu di laci lemari.

Maka, kini adalah momentumnya. Mumpung disain kebijakan pengendalian pandemi sudah mulai menemukan polanya, kebijakan percepatan pemulihan ekonomi juga perlu disiapkan secara paralel. Jadi, manakala pandemi mulai teratasi, kita tidak kehilangan waktu lebih lama lagi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Nah, bagaimana menurut Anda? (*)

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Arif Budisusilo
Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper